Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif
Ramadhan telah tiba, Alhamdulillah hingga detik ini Allah Swt. masih memberi kesempatan pada kita untuk bisa menjalani ibadah di bulan penuh berkah. Namun, belum lagi Ramadhan dijalani, rakyat harus dihadapkan pada kenyataan yang menyesakkan dada. Tradisi mudik yang telah menjadi budaya di negeri ini konon ditiadakan.
Hal itu diungkap Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy dalam sebuah konferensi pers daring, Jum’at 26 Maret 2021 lalu. Ia menyatakan bahwa mudik tahun 2021 ditiadakan. Keputusan yang dihasilkan melalui rapat tiga menteri tersebut berlaku bagi ASN, TNI, Polri, BUMN swasta, pekerja mandiri, juga bagi seluruh masyarakat. (DeskJabar.com 27 Maret 2021)
Keputusan larangan mudik tersebut mulai diberlakukan tanggal 6-17 Mei. Meskipun demikian, pemerintah menghimbau masyarakat agar tidak melakukan pergerakan atau kegiatan keluar daerah sebelum dan sesudah tanggal tersebut, kecuali sangat mendesak.
Menyikapi hal tersebut, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang, Djoko Setijowarno berharap pemerintah menerbitkan peraturan presiden (perpres), agar pelarangan mudik tersebut dapat berjalan secara efektif.
Adapun maksud dan tujuan dari penerbitan perpres tersebut adalah untuk keberlangsungan usaha di bisnis transportasi umum. Larangan mudik dipastikan akan mematikan usaha mereka, untuk itu penting kiranya untuk memberikan bantuan subsidi pada bisnis transportasi umum darat, sebagaimana yang telah diberikan pada moda udara, laut dan kereta.
Larangan mudik pada dasarnya dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19. Karena biasanya setelah libur panjang, angka penularan akan mengalami kenaikan yang signifikan. Ledakan penderita Covid inilah yang dihindari karena secara psikologis akan menurunkan kepercayaan pada kebijakan pandemi khususnya masalah vaksinasi. Masyarakat akan semakin tidak percaya terhadap pemerintah karena vaksinasi dianggap gagal mengatasi peningkatan kasus Covid-19.
Sejatinya, pelarangan mudik tidak akan pernah ada jika penanganan pandemi ini sejak awal dilakukan secara cepat dan tepat. Terjadinya kegagalan dalam memutus mata rantai penyebaran diakibatkan oleh solusi kapitalis yang dijadikan rujukan dalam menangani wabah. Kapitalis telah menjauhkan peran penguasa yang semestinya berkewajiban mengurusi dengan penuh tanggung jawab dan menjaga masyarakat yang dipimpinnya.
Pada faktanya, dalam pelaksanaan kepemimpinannya, seorang penguasa kapitalis lebih cenderung pada kepentingan pemilik korporasi saat menentukan kebijakan. Pertimbangan apakah rakyat menjadi korban atas keputusan tersebut ataukah tidak nyatanya sering kali diabaikan.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan kepemimpinan Islam yang menetapkan sosok penguasa sebagai pelindung atau pelayan bagi rakyatnya. Ia akan memperhatikan urusan mereka secara serius karena keselamatan rakyat adalah tanggung jawabnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (penguasa) adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim & Ahmad)
Seorang penguasa dalam sebuah institusi Islam berkewajiban menjamin kebutuhan pokok warganya baik sandang, pangan dan papan. Demikian pula halnya dengan kebutuhan mendasar kolektif yaitu: pendidikan, kesehatan juga keamanan. Hal itu berlaku baik dalam keadaan dilanda wabah ataupun tidak, penguasa tetap memperhatikan kepentingan rakyatnya.
Terlebih ketika terjadi wabah penyakit, penguasa muslim akan segera melakukan tindakan pencegahan agar tidak meluas ke wilayah lain. Tindakan lockdown dan memisahkan yang sakit dari yang sehat adalah tindakan yang mesti diambil sedari awal. Hal ini sejalan dengan apa yang diserukan oleh Rasulullah saw. :
“Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, janganlah kamu masuk ke dalamnya. Apabila kamu berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR. Imam Muslim)
Peran lockdown ternyata sangat efektif untuk memutus penyebaran wabah.
Dengan menutup berbagai akses yang bisa menjadi celah penularan, sangat membantu agar wabah tidak meluas. Orang yang terinfeksi akan dipisahkan dari yang sehat. Hal inilah yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khaththab, saat itu wilayah Syam menjadi zona merah dan harus mengalami isolasi. Namun pemerintah tetap menjamin kebutuhan yang mereka perlukan.
Para gubernur di wilayah lain di zona hijau akan digerakkan untuk membantu pemenuhan kebutuhan di wilayah zona merah. Dengan begitu masyarakat akan tetap tenang dan nyaman beraktivitas tanpa ada ketakutan akan tertular. Aktivitas mudik yang merupakan ajang silaturahmi dengan sanak saudara pun akan tetap dapat dilakukan. Keamanan dan kenyamanan akan terjamin karena orang-orang yang terjangkit wabah tetap dalam kondisi terisolasi.
Pihak yang terkena wabah pun akan tenang tanpa harus memikirkan pemenuhan kebutuhannya. Sikap mereka yang bersabar dan ikhlas dalam menjalani ujian berupa penyakit serta mematuhi perintah untuk tetap tinggal di rumahnya, akan berbuah pahala dari Allah Swt.
Demikianlah, begitu jelas dan terperinci cara Islam menangani masalah wabah ini. Sehingga tidak berimbas pada masalah-masalah lain semisal aktivitas mudik atau bersilaturahmi dengan sanak keluarga tertunda kembali. Masyarakat akan merasa tenang dan tentram tanpa ada kekhawatiran terjadinya penularan. Tidakkah kita mendambakan suasana kepemimpinan seperti itu? Saat ketika Islam diterapkan sempurna dalam sebuah institusi mulia. Semoga kehadirannya disegerakan oleh Allah Swt. Aamiin.
Wallahu a’lam Bishawwab
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN