Seni pertunjukan adalah sebuah tontonan seni yang sangat bernilai, yang mana seni pertunjukan itu merupakan pemenuhan hidup manusia dalam nilai religius, estetik, pendidikan, sosial, hiburan, ekonomi dan masih banyak lagi. Lalu bagaimana dengan sebuah program kegiatan seni pertunjukan yang di selenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini yang menangani tentang kesenian.
Ketika ada seorang tokoh yang menginspirasi saya, beliau berkata yang intinya, apakah program kegiatan seperti itu sudah merupakan bentuk dari pengejawantahan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan”. Dan ada seorang tokoh guru besar yang telah memberikan pengetahan saya tentang teori kritis, teori ruang publik, dan teori diskonstruksinya Jurgen Habermas. Yang intinya bahwa ketika sebuah masalah itu dianggap sebagai masalah di ruang publik maka orang yang berfikir menggunakan ruang privat inilah yang harus dihilangkan.
Dari latar belakang inpirasi-inspirasi tersebut, lalu saya mulai berfikir dan timbul pertanyaan dalam hati saya. Pertanyaannya adalah, apakah program kegiatan seni pertunjukan itu sudah merupakan pengejawantahan dari pelestarian seni?. Sudah transparankah anggaran untuk kegiatan seni pertunjukan tersebut di masyarakat khususnya para pelaku seninya?.
Hal yang seperti ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, saya contohkan mungkin ini hanyalah contoh fiktif belaka, misalnya ada sebuah program kegiatan pertunjukan dramatari kolosal yang mana banyak melibatkan para seniman tari, musik, karawitan, teater, tata rias, tata cahaya, seni rupa yang mana para seniman tumplek blek disitu.
Dari program kegiatan besar tersebut, disinilah dimungkinkan sebagai celah untuk melakukan negosiasi, yaitu dengan cara pemilik program kegiatan menawarkan kepada pelaku seni untuk tampil dalam sebuah pertunjukan. Kemudian para pembuat program kegiatan melakukan modus-modus mark up anggaran, laporan fiktif, dan penggelapan.
Mark up dilakukan pada pembiayaan atau pengeluaran anggaran progran kegiatan dramatari kolosal tersebut dengan menaikkan jumlah pengeluaran yg seharusnya untuk kepentingan pribadi, dikarenakan honor para pelaku seni memang tidak ada standartnya, honor berapapun untuk para pelaku seni itu adalah sah, karena setiap pelaku seni mempunyai standar yang berbeda, bisa saja satu pelaku seni mempunyai tarif honor ratusan bahkan jutaan tergantung dari seniman itu sendiri, dan banyak juga para pelaku seni yang memang tidak mengukur masalah tarif harga, karena mereka berfikir bahwa sudah bisa pentas dalam pertunjukan seni itu adalah bentuk dari mengekspresikan jiwa seninya sebagai usaha untuk melestarikan kesenian itu sendiri.
Maka dari itu, bagi pemilik program kegiatan seperti ini untuk mark up anggaran akan sangat mudah. Selanjutnya laporan kegiatan fiktif dilakukan dan disesuaikan dengan keinginan individu yang penting sesuai dengan apa yang diinginkan. sehingga yang terjadi dalam posisi seperti ini negara sangat dirugikan. Dan hal seperti ini bisa dilakukan pada program kegiatan kesenian apapun. Ketika dalam satu kegiatan seni pertunjukan itu menghabiskan anggaran antara 200-300 juta itu bisa di mark up menjadi 700-800 juta. Dan hal itu dianggap sesuatu yang biasa atau lumrah karena memang standar honor untuk pelaku seni itu bervariasi.
Bisa kita bayangkan ketika itu terjadi di beberapa banyak program kegiatan sejenis itu, maka yang terjadi akan banyak sekali anggaran yang digelapkan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan apabila laporan kegiatan semacam ini sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan diketahui ada kejanggalan serta terjadi penyimpangan yang terjadi tidak pihak BPK tidak ada tindakan yang tegas tetapi hanya diberikan rekomendasi untuk perbaikan.
Dengan melihat realitas yang terjadi tersebut, menurut saya ini bukanlah sebuah program yang mana bentuk dari pengejawantahan dari pelestarian kebudayaan. Apabila hal ini terjadi secara terus-menerus dan sudah mendarah daging di kalangan pemilik program kegiatan di pemerintahan, maka yang akan terjadi akan sangat sulit sekali yang namanya melestarikan kebudayaan yang mana itu sudah di amanatkan dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
Jadi anggaran yang seharusnya digunakan untuk pelestarian kebudayaan supaya keberadaan kesenian tradisional supaya tidak punah, pembinaan terhadap sumber daya para senimannya serta perlindungan dan revitalisasi kesenian yang telah punan tidak akan terlaksana secara maksimal, karena anggaran yang seharusnya untuk pelestarian kesenian tersebut terlalu banyak untuk di selewengkan yang jadinya bisa juga disebut korupsi. Dalam bahasa jawa yang lagi tren “angel, angel, angel temen tuturanmu”. yang artinya sulit, sulit, sulit sekali dibilangin.
Lalu bagaimana untuk mengatasi masalah seperti ini. Saya mempunyai saran dan gagasan siapa tahu bisa menjadikan solusi.
Apa yang harus dilakukan untuk modus-modus seperti ini?. Pertama, perlunya partisipasi masyarakat guna mendorong transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sehingga terbangun demokratisasi, dalam hal ini masyarakat juga bisa mempunyai porsi untuk pengawasan anggaran. Walaupun sudah ada Undang-Undang nomor 14 tahun 2018 tentang Keterbukaan Publik akan tetapi aplikasi di lapangan belum menunjukkan hal yang baik.
Kedua, perlunya ruang publik sebagai tempat antara pemangku kepentingan dengan masyarakat yang mana ada kesetaraan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan tentunya bukan hanya sekedar ruang publik formalitas saja.
Ketiga, apabila program kegiatan ini menggunakan anggaran pemerintah daerah, maka Gubernur harus bertanggugjawab penuh dalam proses budgeting, dan memiliki format laporan, monitoring dan evaluasi secara benar, sehingga tidak sekedar laporan penyerapan dan penerimaan anggaran saja.
Keempat, keberadaan badan pemeriksa keuangan (BPK) sebagai auditor eksternal pemerintah tidak hanya sekedar memberikan rekomendasi dan perbaikan apabila terjadi indikasi penyelewengan, serta mengoptimalkan Inspektorat daerah sebagai pembantu Gubernur sebagai pengawas dalam pemerintahan tidak hanya sekedar cashflow atau penyerapan anggaran saja namun juga harus juga melakukan pengawasan terhadap proses dan hasil kinerja.
Mungkin dari semua persoalan seperti ini adalah bagian dari pelajaran untuk kita semua, semoga kita bisa berbuat baik untuk masyarakat dalam hal seperti ini khususnya para pelaku seni. Ada pepaatah para sepuh “ngunduh wohing pakarti, mulo ayo ngudi sejatining becik”.
Penulis: Adiyanto
Mahasiswa S3, Program Doktor Ilmu Sosial Fisip Unair
Pamong Budaya Ahli Muda Disbudpar Prov. Jatim
More Stories
Raperda APBD Jatim 2025 Resmi Disetujui, Pj Gubernur Adhy Pastikan Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Jadi Prioritas
Peringatan HKN 2024, Pj. Gubernur Jatim Komitmen Tingkatkan Kualitas Kesehatan Masyarakat
SIAP MENANGKAN PILKADA PDIP GELAR PELATIHAN SAKSI