Oleh : Uqie Nai
Alumni Branding for Writer 212
Apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tentang kasus penolakan seorang siswi nonmuslim mengenakan jilbab menjadi isu nasional. Pasalnya, petinggi negeri ramai angkat bicara, mengkritisi dan mengecam pihak sekolah, hingga mencuat aroma kebencian terhadap syariat.
Realitas tersebut seakan menjadi celah yang lama dinanti, yakni ditemukannya momen yang tepat untuk menunjukkan ketidaksukaan terhadap syariat dari kaum liberalis. Ketidaksukaan itu jelas terlihat dalam kalimat intoleran, melanggar HAM, tidak sesuai Pancasila dan menyalahi undang-undang yang serentak mereka lontarkan.
Berbeda halnya saat kasus diskriminasi terjadi di SMAN 2 Denpasar, Bali tahun 2014 silam. Seorang siswi muslim dipaksa untuk melepaskan jilbabnya selama pembelajaran, jika menolak, ia diminta pindah ke sekolah lain. Usut punya usut ternyata perlakuan serupa dialami banyak siswi muslim di Bali hanya karena mayoritas penduduk di sana beragama Hindu. Adakah pejabat negara bersuara membela?
Jelas sekali siapa sebetulnya yang intoleran dan melanggar undang-undang (UUD’45 Pasal 29) dalam kasus ini. Jika yang “dianggap” korban itu nonmuslim, maka pejabat publik, dari mulai menteri, anggota dewan, pegiat HAM dan sejenisnya mereka lantang berkoar telah terjadi pelanggaran dan bersikeras ditegakkannya sanksi. Namun, saat yang menjadi korban jelas-jelas muslim, mereka diam seribu bahasa. Komentar ala kadarnya, tak perlu dibesar-besarkan, cukup diselesaikan pihak terkait.
Kasus mencuatnya jilbab di SMKN 2 Padang telah mengungkap standard ganda dari paham yang sebenarnya dianut negeri ini yaitu kapitalisme-libealisme. Sebuah paham yang didasari oleh pemisahan agama dari kehidupan sehingga manusia bebas dalam menentukan benar dan salah. Dari paham ini lahirlah islamophobia. Ketakutan bahwa Islam akan menggeser posisi kaum liberal dan kapitalis tercermin dari cara mereka merespon isu. Penuh kebencian dan inkonsisten.
Bukan itu saja, bebas bertindak, berkeyakinan, berbicara serta bebas dalam kepemilikan menjadi ciri khas kapitalisme-liberalisme. Para pengusung paham ini akan bertindak ekspresif manakala ada kesempatan. Lantang bersuara intoleran dengan tujuan mengkriminalisasi Islam dan ajarannya. Sekali lagi, mereka tidak ingin kebebasan penuh hedonis terenggut oleh aturan syariat yang banyak dianut masyarakat negeri ini.
Mirisnya, pejuang kebebasan itu diakomodir negara sebagai pemilik kebijakan tertinggi. Sebut saja produk yang dilegalisasinya seperti UU Omnibus Law, PP tentang kespro, UU Ormas dan yang terbaru Perpres Ekstremisme No 7/2021. Bahkan masuknya kembali RUU PKS dalam prolegnas melengkapi diadopsinya sekulerisme-liberalisme sebagai ruh berbagai peraturan. Produk-produk tersebut tampak semakin menegaskan keberpihakan pengelola negeri ini terhadap paham liberalisme dan kepada kepentingan oligarkhi dan kapitalis global. Tidak heran jika terasa syariat Islam dan kaum muslim sering jadi sasaran stigma negatif bahkan fitnah dan kambing hitam sebagaimana pada kasus jilbab di atas.
Islam dan syariatnya tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk agama Islam karena kebenaran itu jelas, kesesatan pun jelas (QS. Al-Baqarah: 256). Ketika seseorang telah masuk Islam maka ia wajib terikat pada syariatnya, salah satunya syariat (aturan) yang berhubungan dengan pakaian. Baik laki-laki atau perempuan wajib menutup auratnya dengan sempurna ketika sudah baligh.
Pakaian sempurna muslimah ketika keluar rumah terdiri dari khimar, jilbab dan mihnah (pakaian rumah). Jilbab yang dipahami masyarakat umum sebagai kerudung (khimar) diperintahkan Allah Swt. dalam QS. An-Nur [24]: 31 adalah pakaian yang telah disyariatkan kepada muslimah. Khimar adalah pakaian penutup area kepala, leher dan dada (tempat-tempat dimana perhiasan berada). Sementara selain area tersebut harus mengenakan jilbab (baju kurung longgar) hukumnya wajib (lihat: QS. Al-Ahzab: 59). Sementara syara’ (Allah dan Rasul-Nya) tidak mewajibkan kepada nonmuslimah untuk mengenakannya. Jika pun ada nonmuslimah mengenakan pakaian syar’i maka itu hanya bersifat administratif bukan bentuk ketakwaan kepada Allah Swt. melainkan taat kepada aturan yang diberlakukan negara yang bersifat umum.
Dalam sejarah pemerintahan Islam, pakaian yang dikenakan muslimah dan nonmuslimah tidak ada perbedaan. Kecuali pakaian khusus keagamaan (non muslim), negara memberi kebebasan. Inilah bentuk toleransi yang hakiki yang hanya bisa dipenuhi oleh negara penerap syariat. Kepala negara adalah junnah (perisai) sekaligus pelayan (raa’in) masyarakat. Semua urusan umat wajib ia perhatikan sebagai bentuk tanggung jawabnya menjalankan amanat yang telah dibebankan.
Negara dalam sistem Islam menjamin kebebasan berakidah, beribadah serta makanan minuman bagi warganya yang nonmuslim. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga muslim lainnya dalam aturan umum. Tidak ada diskriminasi. Maka tak heran saat aturan tersebut dipahami oleh seluruh warga negara, nonmuslim pun merasa nyaman memakai pakaian yang sama dengan warga muslim. Mereka menyadari bahwa itu adalah bentuk penjagaan kehormatan mereka. Terlebih kebutuhan dasar yang diberikan negara benar-benar membuat mereka sejahtera. Adakah ini ditemukan saat ini?
Betapapun besarnya usaha mengkriminalisasi Islam dan ajarannya, akan ada pejuang agama Allah datang silih berganti. Bukankah Allah telah menjanjikan dalam Firman-Nya:
“…Dan Allah tidak akan pernah sekalipun memberi jalan pada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa [4]: 141)
Wallahu a’lam bi ash Shawwab.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN