Oleh: Uqie Nai
Member Akademi Menulis Kreatif
Hari itu M (40) datang ke Mapolres Lombok Tengah (NTB) melaporkan ibunya K (60) karena dianggap telah menggelapkan motor. Berdasarkan laporan M sendiri, motor itu dibeli ibunya setelah M menjual tanah warisan ayahnya senilai Rp200 juta. Ibunya diberi bagian Rp15 juta. Namun M tidak terima jika motor yang dibeli ibunya tersebut disimpan dan dipakai di rumah saudaranya. Menanggapi hal ini, Mapolres Lombok Tengah, AKP Priyo Suhartono menolak melanjutkan kasusnya dan disarankan secara kekeluargaan saja. (Tribunnews.com, Senin, 29/06/2020)
Lain halnya dengan Polres Demak Kota, Haryanto. Pihaknya menindaklanjuti laporan seorang anak perempuan berinisial A (19) terhadap ibu kandungnya S (36) hingga resmi menjadi tahanan Polres Demak. Laporan disampaikan A setelah dirinya diperlakukan tidak menyenangkan saat berkunjung ke rumah ibunya dan menanyakan baju-bajunya yang ternyata telah dibuang ibunya. Percekcokan pun terjadi hingga A mendapati pelipisnya tergores kuku ibunya, saat ibunya mencoba bangkit akibat terjatuh didorong A. Diketahui sebelumnya bahwa A tinggal bersama ayahnya di Jakarta, yang telah lama bercerai dengan S, sementara kedua adiknya tinggal dengan ibunya. (Detiknews.com, Sabtu, 9/01/2021)
Kehidupan Sekuler Penyebab Masalah
Apa yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Demak, Jawa Tengah sungguh tak patut ditiru. Seorang anak yang harusnya menunjukkan bakti terhadap orangtua tega menjebloskan ibunya ke penjara hanya karena masalah sepele yang bersifat materi, meski kemudian laporan tersebut dicabut dan berakhir dengan mediasi, sangat disayangkan harus menimpa keluarga muslim. Kasus yang bukan pertamakali terjadi di negeri ini tapi mengundang miris bahkan viral di jagat maya.
Pemahaman atas pemisahan agama dalam kehidupan umat saat ini memanglah nyata. Kebebasan berbicara, berperilaku, beragama, dan kepemilikan menjadi fakta yang tak terbantahkan. Siapapun bisa mengekspresikan keinginannya tanpa mengindahkan aspek normatif apalagi halal-haram. Ekspresi bisa mengemuka siapapun orangnya. Tua, muda, kaya, miskin, pejabat, dan masyarakat secara umum saat Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi dalih, gempuran budaya 3F (fun, food and fashion) terus menggurita. Selain itu, fakta perceraian orangtua terhadap konflik internal karena informasi sepihak yang diperoleh sebagaimana kasus di atas menambah daftar panjang ketidakharmonisan.
Pemisahan aturan agama dalam interaksi masyarakat berawal saat demokrasi-kapitalisme diadopsi negeri ini. Lambat-laun umat tergiring pada pergeseran akidah, akhlak dan interaksi lainnya semisal ekonomi, politik, hukum dan pemerintahan sesuai pandangan barat. Mereka mencukupkan diri ber-Islam diranah ibadah mahdah (ritual) seperti shalat, puasa, zakat, haji. Padahal aturan Islam begitu kompleks, satu dan lainnya berkaitan erat. Tidak bisa mengimani salah satu, dan mengingkari yang lainnya. Inilah buah sekulerisme, Al-Qur’an tak lagi menjadi pedoman, as-Sunnah tak menjadi tuntunan.
Islam Memperkuat Ikatan Kasih Sayang
Perilaku kurang adab, keras kepala dan durhakanya seorang anak tak sepenuhnya kesalahan mereka. Ada peran orangtua sebagai pembentuk karakter dan akhlak yang tidak terpenuhi. Hilang tanpa arahan syariat. Sementara Islam telah menetapkan anggota keluarga untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing sejak mula diciptakannya. Pemahaman ini mampu menjalin hubungan erat dalam tali silaturahmi (QS. An-Nisa: 1)
Ayah sebagai pemimpin keluarga bertanggung jawab memberikan pendidikan dan pemahaman Islam kepada isteri dan anak-anaknya di samping kewajiban mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga. Ibu memiliki peran yang tak kalah penting. Sebagai ummun wa rabbat al bait (pengurus rumah tangga) sekaligus madrasatul ula (sekolah pertama) bagi buah hatinya. Anak-anak wajib berlaku ma’ruf, taat dan menjalankan pemahaman Islam yang diperolehnya.
Tidak cukup sampai di situ, peran masyarakat dan negara menjadi pilar penguat ketahanan keluarga dan terciptanya harmonisasi. Masyarakat tidak boleh abai untuk saling memberi perhatian dan nasehat manakala tetangga mengalami konflik. Pun demikian halnya negara. Kewajibannya memberikan pelayanan, kenyamanan, kesejahteraan serta sanksi atas beragam kemaksiatan yang telah ditetapkan syara’ untuk dijalankan dan diterapkan di tengah umat. Tanggung jawab ketiga pilar inilah yang mampu terwujudnya jalinan kasih sayang dalam balutan keimanan. Rasulullah saw. bersabda :
“Masing-masing dari kalian adalah raa’in (pelayan/pengembala) yang bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya…….” (HR. Bukhari-Muslim)
Saat terlihat kemungkaran, Islam memerintahkan untuk mencegahnya atau merubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, maka dengan lisannya, atau dengan hati meski pencegahan terakhir ini masuk selemah-lemahnya iman (al-hadis).
Inilah bentuk penjagaan Islam yang melibatkan komponen individu, masyarakat dan negara. Hanya Islam dan syariatnya yang memiliki solusi terbaik dari sebelum, saat dan pasca masalah muncul. Tindakan preventif terwujud saat individu muslim mengetahui hak dan tanggung jawabnya. Jika pun terjadi kelalaian dan pengabaian hukum syara maka masyarakat lain akan menasehati dan mencegahnya untuk tidak terjerumus keharaman/dosa. Kemudian ternyata masih terjadi pelanggaran tersebut, maka negara akan memberikan sanksi tegas hingga efek jera mampu dirasakan pelaku dan umat secara umum.
Aturan Islam saat dipahami dan diterapkan akan meminimalisir keretakan keluarga. Adab serta akhlak orangtua yang baik akan dicontoh anak-anaknya. Kebiasaannya, ketaatannya serta kemuliaannya akan berimbas pada anak cucunya. Karena keridhaan Allah datang dari ridhanya orangtua. Kemurkaan Allah pun datang akibat murkanya orangtua. Lebih dari itu adanya perlindungan negara penerap syariat akan menjadi benteng pertahanan itu semakin kokoh setelah satu sama lain telah memahami perannya.
Nabi saw. bersabda, “Berbuat baiklah kepada orangtua-orangtua kalian maka anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian, dan jagalah diri kalian (dari zina), maka istri-istri kalian akan terjaga (dari zina).” (HR. Ath-Thabarani dari sahabat Ibnu Umar r.a)
Demikianlah gambaran dua kondisi yang berbeda. Ikatan kasih sayang tanpa syariat memunculkan konflik internal berkepanjangan, karena pemahaman serta aturan yang ada berasal dari hawa nafsu manusia. Alhasil, lahirnya anak-anak durhaka pada orangtua menjadi pemandangan ironis saat tolak ukur kebahagiaan ada pada materi. Maka solusi satu-satunya mengembalikan kasih sayang anggota keluarga adalah dengan mengkaji Islam secara kaffah seiring perjuangan untuk mewujudkan institusi penerapnya.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN