Oleh: Isna Yuli (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Hari ini masyarakat Indonesia sedang berada dalam fase penting untuk kesekian kalinya. Berbagai statemen dan ketidakpercayaan masyarakat membanjiri media sosial akhir-akhir ini. Apakah memilih opsi keluar dari kekuasaan rezim zalim dengan kepala tegak, dan mengubah kezaliman ini dengan perubahan yang nyata? Ataukah berjalan mundur kembali menjadi negara yang mereproduksi rezim yang sama, hingga menghambat perubahan hakiki untuk jangka waktu yang lama?
Omnibus law sudah disahkan, banyak pihak mengkritisi kebijakan sepihak tersebut. Buruh yang merasa paling dirugikan bergerak menuntut keadilan. Mahasiswa yang semula diam kini sudah mulai bangkit lagi. Masyarakat terbangun, alam sadarnya mengindra ada kezaliman yang akan berimbas pada semua aspek kehidupan. Berhari-hari sederet tagar menolak UU Ciptaker memenuhi jagat twiter. Berbagai opini diberbagai media telah melambungkan ketidakpercayaan masyarakat kepada rezim.
Hari ini kita bisa melihat dengan jelas, mereka yang mengemis suara kepada rakyat saat pemilu, saat ini dengan jumawa telah menghianati amanah yang diterimanya. Pemimpin yang dimenangkan pun membuang muka dan tanggungjawab. Penegak hukum pun dengan represif ‘mengamankan’ para buruh dan demonstran. Opsi mengajukan gugatan ke MK ditawarkan oleh pemerintah, namun rakyat sudah muak dengan skenario pemerintah, luka lama pemilu serta dibungkamnya ormas lewat sidang MK masih membekas. Tak mungkin masyarakat mengulanginya lagi. Lantas kepada siapa lagi rakyat meminta keadilan dan perlindungan?
Butuh perubahan
Kezaliman ditengah pandemi ini memang patut ditanggapi dengan opsi perubahan. Ya, negeri ini butuh satu perubahan mendasar yang tak sekedar mengganti pelaku dan merubah Undang-Undang saja. Sebab, itu semua sudah sekian kali kita lakukan. Mulai pemipin militer, pemimpin ulama, pemimpin teknokrat, pemimpin perempuan sampai pemimpin dari kalangan Sipil sudah pernah menahkodai negeri ini. Berbagai Undang-undang sudah disahkan, namun, fakta kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat masih jauh panggang dari api.
Ibarat sebuah perjalanan, perubahan yang dilakukan negeri ini hanya sekedar mengganti sopir kendaraan saja. Padahal masalah utama perjalanan ini adalah mesin mobil yang bobrok, ban mobil bocor, rem tidak berfungsi, kaca pelindung pecah, jok mobil digerogoti tikus dan bahan bakar habis. Jika kondisi seperti itu, apakah mobil yang kita kendarai akan mengantarkan pada tujuan? Hanya dengan mengganti sopir?
Faktanya, perubahan tidak akan terjadi selama pelaku dan sistem yang diterapkan adalah demokrasi sekulerisme. Bahkan perubahan sebatas rezim tanpa disertai dengan perubahan sistem akhirnya kembali mendudukkan “penumpang gelap,” yang menjadi agen aseng dan asing. Menerapkan sistem yang sama. Persoalan yang sama akan muncul berulang kembali.
Perubahan hakiki
Negeri ini tinggal selangkah lagi menuju perubahan hakiki. Gejolak penolakan Omnibus law hari ini seharusnya menjadi tonggak perubahan mendasar. Namun untuk mencapai semua itu seluruh elemen masyarakat perlu memahami beberapa hal, pertama; masyarakat harus sadar dengan keadaan saat ini, bahwa kerusakan yang ada adalah karena ulah manusia yang terjadi karena pelanggaran terhadap hukum syara’. Sebagaimana firman Allah SWT Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). Membuat aturan kehidupan dengan kesepakatan bersama (demokrasi) ini menyalahi Allah sebagai Al Mudabbir (Sang Pengatur). Peraturan yang dihasilkan pun ternyata sangat menzalimi rakyat.
Kedua; masyarakat juga mesti paham sistem dan aturan seperti apa yang diridhai Allah, tidak melanggar hukum syara’ serta sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sebagai negeri mayoritas berpenduduk muslim, selayaknya kita mengambil hukum dan sistem Islam untuk mengatur kehidupan dan negara, Islam memiliki sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna, yang mampu memanusiakan manusia, mensejahterakan kehidupan dan memulyakan bangsa dan pemimpin yang menerapkannya. Sistem alternatif yang dimaksud adalah Khilafah Islamiyah. Penerapan Islam dalam sebuah negara harus dipahami benar oleh semua kalangan. Termasuk bagi warga non muslim, sebab penerapan Islam secara sempurna tidak akan menghilangkan hak beragama warga non muslim. Hal ini perlu kajian mendalam untuk memahaminya, karenanya penting bagi umat Islam untuk senantiasa belajar tsaqafah Islam.
Ketiga; masyarakat harus paham dengan cara seperti apa perubahan hakiki akan terwujud. Selama ini tertanam dalam mafhum mayoritas masyarakat bahwa hanya dengan masuk parlemen melalui kendaraan partai politiklah satu-satunya jalan meraih perubahan. Ternyata faktanya meminjam perkataan Prof. Mahfud MD, malaikatpun akan berubah menjadi setan jika masuk parleman. Dan ini sudah terbukti, oleh sebab itu kita perlu kembali membaca sejarah bagaimana Rasulullah saw berhasil membangun negara tanpa berkompromi dengan kafir quraisy.
Sungguh sayang apabila pergerakan yang telah dilakukan oleh kaum buruh, mahasiswa serta masyarakat saat ini tidak membawa perubahan apa-apa. Sebab, perubahan memang bisa terjadi kapanpun, namun kesempatan berubah tidak terjadi sewaktu-waktu. Wallahu ‘alam bishowab.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN