“Ini adalah janji saya kepada Ibu”
Cerita kehidupan. Terkadang kita tidak bisa mengatur apa yang akan kita hadapi di masa depan, namun bisa merencanakannya. Setidaknya itulah yang mendorong Fatkhul, seorang pria sederhana dengan keseharian sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) di gang sempit ‘Surabaya Food Street’ antara Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) dan Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag), Surabaya atau lebih dikenal sebagai ‘Jalur Gaza’, memiliki sebuah cita-cita arif untuk keluarga.
Mungkin tak seorangpun menduga, di balik wajah lugu itu, ternyata telah sukses mengantar ke enam adiknya menuju jenjang pendidikan tinggi hingga meraih gelar Sarjana.
Tubuh kecil, perawakan sedang, senyum serta canda ringan melekat pada pria kelahiran Lamongan tersebut. Sesekali ia sibuk melayani pembeli yang kebanyakan mahasiswa. Pasang surut usaha warung pinggir jalan sudah biasa ia hadapi sejak 2002 silam. Tak kenal lelah, meskipun tak jarang seharian dagangannya utuh tak tersentuh.
“Semua ini saya lakukan karena tekad menghidupi keluarga. Saya ingin menyekolahkan adik-adik saya hingga S1,” ucapnya seraya mengenang perjuangan saat pertama kali ia harus ‘babat alas’ di kerasnya Kota Pahlawan.
Sekilas wajahnya terlihat lelah, kerutan yang mulai terlihat, namun semua itu tidak berarti dibanding semangat serta harapannya yang tidak terhenti begitu saja.
Perjuangan ia awali saat menjejakkan kaki di Surabaya pada 1998 lalu untuk sekolah di Unitomo. Selepas belajar, bapak dari dua orang anak ini mengabdi sebagai takmir masjid di kampusnya. Semua itu ia lakukan penuh keikhlasan untuk bertahan hidup dan membiayai pendidikan.
Suatu ketika, pada pertengahan 2004, kabar buruk kepergian ibu di kampung menjadi pukulan berat yang tidak ia sangka. Sekuat apapun, tak kuasa juga ia teteskan air mata.
“Saya bertekad menuntaskan kewajiban orang tua. Kemudian saya sholat tahajjud dan istikharah, untuk menyatukan niat baik saya dan orang tua,” kenang Sarjana Ekonomi Unitomo tersebut.
Sejak saat itu keinginan Fatkhul makin tak terbendung. Sedikit demi sedikit uang hasil kerja ia kumpulkan. Impiannya tak muluk – muluk, fokus pada tujuan awal, nadzar menyelesaikan pendidikan ke enam adiknya. Seusai lulus sebagai Sarjana Ekonomi pada 2002, ia bertekad membuka usaha warung makan dengan menu khas kampung asalnya ‘Penyetan Lamongan’ di pinggir Unitomo. Berbarengan ketiga adiknya mulai masuk perguruan tinggi.
“Saya keluar kerja karena banyak yang iri. Entah kenapa, namun saya tetap sabar. Akhirnya saya putuskan berjualan, apalagi saya merasa cocok dengan usaha ini,” kata Fatkhul polos.
Usaha tak sia-sia. Tahun ketiga, ia memasukkan lagi ketiga adiknya yang terakhir untuk menempuh ilmu di Akademi Kebidanan Jombang dan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Waktu terus berlalu tanpa terasa.
“Saya sadar dan yakin, bahwa dengan itikad baik kepada orang tua, menjadi berkah bagi saya,” tuturnya bijak.
2006, jadi tahun melegakan bagi Fatkhul. Ke enam adiknya telah berhasil meraih gelar Sarjana. Baru kemudian ia berani memutuskan menikahi seorang gadis dari kampung yang sama. Sejak saat itu, ia mulai mengarahkan ke enam adiknya untuk merintis usaha bersama dengan membuka kos serta membuat kontrakan. Karena menurutnya, usaha ini tidak akan lekang waktu. Sampai kini, Fatkul beserta adiknya memiliki beberapa rumah kos dan kontrakan sebagai penopang selain bekerja di perusahaan dan penyetan kaki lima.
Hingga sekarang, Fatkhul masih tekun melanjutkan usaha berdagang di warungnya yang sangat sederhana. Kuncinya, pelayanan serta mental untuk menghadapi pelanggan agar nyaman. Begitu setidaknya yang ia ungkapkan. Fatkhul mengaku sangat bersyukur atas semua yang telah ia jalani, baik suka maupun duka. (ro)
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN