Surabaya, KabarGRESS.com – Kemajuan dunia teknologi yang merambah segala bidang kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Termasuk pula dalam bidang transportasi. Munculnya moda transportasi berbasis aplikasi online menurut Aru Armando, Kepala Kantor Perwakilan Daerah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPD KPPU) Surabaya, adalah pertemuan antara perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat dan inovasi. “Inovasi yang menguntungkan tentu harus didukung. Boleh diatur, namun bukan untuk dibatasi atau malah dihambat”.
Dalam hal munculnya polemik antara taksi konvensional dengan taksi berbasis aplikasi online, Aru mengungkapkan jika KPPU sudah mengeluarkan rekomendasi terkait revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016.
Ada tiga hal yang direkomendasikan oleh KPPU, yakni: Pertama, KPPU meminta Pemerintah menghapus kebijakan penetapan tarif batas bawah dan merekomendasikan agar mengatur penetapan tarif batas atas. Kedua, KPPU menyarankan agar Pemerintah tidak mengatur kuota atau jumlah armada, baik taksi konvensional maupun yg berbasis aplikasi online. Ketiga, menyarankan Pemerintah untuk menghapus kebijakan STNK taksi online yang diharuskan atas nama badan hukum.
Menurut Aru, penetapan tarif batas bawah membuat pelaku usaha taksi tidak dapat melakukan akselerasi untuk memberikan tarif yang kompetitif. Jika tidak adanya tarif batas bawah, memunculkan kekhawatiran akan potensi diabaikannya faktor keamanan dan kenyamanan, maka Pemerintah dapat membuat aturan yang rinci mengenai standar pelayanan minimum. Selain isu soal kenyamanan dan keamanan, Aru juga menyadari adanya kekhawatian munculnya praktik penerapan tarif jual rugi (tarif terlalu murah dibawah biaya pokok minimum) oleh penyedia layanan transportasi.
“Jika ada penyedia layanan transportasi taksi, tidak peduli konvensional atau online, jika melakukan praktik itu tentu akan diproses oleh KPPU sesuai UU No.5 Tahun 1999,” kata Aru yang menjelaskan jika praktik seperti itu dalam hukum persaingan usaha dikenal sebagai praktik predatory pricing, atau praktik jual rugi.
Sebaliknya, Aru mengkritisi adanya wacana untuk menghilangkan penetapan tarif batas atas. Berbanding terbalik dengan rekomendasi penghapusan tarif batas bawah, tarif batas atas justru diperlukan untuk melindungi konsumen dari potensi eksploitasi tarif oleh penyedia layanan tranportasi, “Justru tarif batas atas ini menjadi ranah pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk melakukan pengawasan atas operaional layanan transportasi,” pungkasnya. (ro)
More Stories
East Java Tourism Award, Ukir Prestasi Ditengah Pandemi
Kolaborasi Q5 Steak n Bowl – Tahta Makarim, Hadirkan Menu Segala Umur
LBM Wirausaha Indonesia Adakan Kunjungan Kerjasama Dengan Lentera Digital Nusantara dan Ketua DPRD Pacitan