22/11/2024

Jadikan yang Terdepan

SDM Dalam Pendidikan Kesehatan

Prof. Ali Ghufron menyampaikan materi dalam seminar Lustrum I FK UKWMSSurabaya, KabarGress.com – Dalam rangkaian acara Lustrum pertama (hari jadi ke- 5 tahun) Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), diadakan berbagai acara yang menarik tidak hanya bagi civitas FK namun juga berbagai pemangku kepentingan. Tidak tanggung-tanggung, didatangkan pula pembicara sekaliber Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD (Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) untuk menyampaikan materi dalam seminar. Beliau merupakan mantan Dekan FK UGM, mantan Ketua AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia), mantan Wakil Menteri Kesehatan RI. Bidang keilmuan beliau adalah Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Dalam kesempatan ini ia berbicara perihal rencana strategis penyediaan Sumber Daya Tenaga Kesehatan dalam menghadapi era kompetisi global dan juga menyajikan berbagai data terkait ketersediaan dalam hal jumlah tenaga kesehatan di Republik Indonesia. Acara dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa UKWMS dari Fakultas Kedokteran, Farmasi, Psikologi, Keperawatan, Profesi Dokter, Profesi Ners, Profesi Apoteker. “Tentu saja para mahasiswa jenjang program S1 Kedokteran, Psikologi, Keperawatan, dan Farmasi juga sangat antusias untuk dapat hadir pada kesempatan langka ini agar dapat bertemu secara langsung dengan Bapak Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti Kemenristekdikti,” ujar Kuncoro Foe selaku Rektor UKWMS.

Menyampaikan materi ‘Sinergitas Academic Health System’ Ali Ghufron mengawali dengan sedikit nostalgia, “saya sudah tidak asing lagi dengan Dekan FK UKWMS, Prof. W.F. Maramis, karena waktu saya KoAs dulu juga buku acuan yang digunakan adalah karya beliau, kita harusnya bisa mencontoh beliau supaya nantinya menjadi SDM Pendidikan Kesehatan yang sehat dan berkarakter”.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa sebelum era ini, perguruan tinggi umumnya bergerak sebagai agen pendidikan. “Saat ini kami mulai mengarahkan agar perguruan tinggi mulai bergerak sebagai agen pembangun budaya; budaya bekerja dengan ikhlas, budaya bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja tuntas dan lain sebagainya. Kita harus membangun SDM yang punya kualitas daya saing tinggi sebagai bagian dari bangsa ini. Unggul, sehat, produktif, berdaya saing tinggi, dan berkarakter baik,” tandasnya.

Ia menyayangkan, saat ini Indonesia belum memiliki rencana induk pembangunan manusia iptek yang tepat. Harusnya pembukaan program studi baru haruslah berdasarkan desain induk tersebut. Saat membuka program studi, universitas tidak boleh hanya melihat apa yang dimiliki atau apa yang sedang menjadi tren. Kalau hanya itu yang diperhatikan tidak heran kalau lulusannya banyak menganggur, karena tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.

Pembelajaran lintas ilmu, seperti yang kini juga sedang digadang-gadang di UKWMS sangatlah diperlukan dalam membangun dan melaksanakan pembenahan akademik sistem kesehatan. “Ironis sekali bila ada suatu daerah yang punya Rumah Sakit (RS), punya universitas dengan FK tapi kemudian puskesmasnya kosong, tidak ada dokternya. Kadang masalahnya tidak sederhana, banyak FK universitas swasta yang susah mendapat tenaga pengajar,” papar Ali Ghufron. Masalah itu dicarikan solusi oleh pemerintah dalam bentuk NIDK (Nomor induk dosen khusus) jadi mereka yang bekerja di RS bisa mengajar dan diakui keilmuannya, bisa mengajukan untuk gelar profesor, bahkan hingga usia 79 tahun.

Melalui kepemilikan NIDK, mereka berhak mendapatkan pengembangan dan pengakuan akademik maupun struktural, bahkan bisa menjadi dekan. “Pengurusan gelar profesor yang dulu makan waktu bisa sampai 6 hingga 13 tahun, saat ini kami usahakan menjadi 2 bulan, dan karena sudah online maka tidak perlu harus ke Jakarta,” ujarnya. Pemerintah pun mengoptimalkan kerjasama dengan pihak-pihak luar negeri dalam rangka peningkatan SDM pendidikan kesehatan.

Ali Ghufron juga berharap perguruan tinggi Indonesia meningkatkan jumlah publikasi jurnal ilmiah internasional. “Di ASEAN, jumlah produksi publikasi ilmiah internasional Indonesia paling rendah setelah Malaysia, Singapore, Thailand, padahal jumlah dosen kita paling banyak,” paparnya.

Itulah sebabnya, pemerintah mewajibkan syarat publikasi jurnal ilmiah internasional untuk mendapatkan gelar profesor. Ini bukan masalah nasionalisme ataupun jurnal nasional dinilai kurang baik, namun penelitian ilmiah itu haruslah diakui secara lebih luas agar bisa menolong lebih banyak orang. (ro)