22/11/2024

Jadikan yang Terdepan

APTI: Kebijakan Kemasan Polos Harus Dibatalkan

Jakarta, KabarGress.com – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) memuji sikap mantan Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, yang mengkritik rencana pemberlakuan kebijakan kemasan polos tanpa merek (plain packaging) bagi rokok di negaranya. Diharapkan, kritik tersebut membukakan mata para pengambil kebijakan di Perancis agar segera membatalkan rencana tersebut.

“Kami menyambut baik pernyataan yang diberikan Bapak Sarkozy yang telah mendengarkan aspirasi para petani tembakau di Indonesia yang menentang keras rencana pemberlakuan kebijakan kemasan polos oleh negara manapun, termasuk Perancis,” ujar Ketua APTI Soeseno di Jakarta pada akhir pekan.

Pada awal Februari 2016, Sarkozy menyatakan dukungannya kepada para retailer produk tembakau yang menentang pemberlakukan kebijakan kemasan polos. “Jika kita mendukung pemberlakuan kebijakan kemasan polos pada rokok, maka dalam enam bulan ke depan, hal ini dapat diikuti dengan kebijakan polos tanpa merek pada botol wine…. dan juga keju,” kata politisi Partai Republik seperti dilansir Le JDD.

Soeseno menilai, pemberlakuan kebijakan kemasan polos terhadap rokok akan memicu tindakan retaliasi dari negara-negara pengekspor industri hasil tembakau terhadap produk unggulan Perancis, seperti wine karena produk tersebut merupakan unggulan di pasar ekspor. Pada tahun 2014, Perancis mengekspor wine yang nilainya mencapai 9,3 miliar dollar AS.

“Kebijakan kemasan polos merupakan bentuk diskriminasi terhadap produk tembakau, sebagai salah satu komoditas strategis Indonesia. Hal tersebut akan melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di negara-negara yang menerapkan aturan kemasan polos dan mengakibatkan penurunan permintaan bahan baku tembakau dari petani yang telah menopang kebutuhan pasar dalam negeri dan juga pasar ekspor,” papar dia.

APTI yang beranggotakan sekitar 2 juta petani dan buruh tani tembakau di Indonesia, mendukung Pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa kebijakan kemasan polos merupakan pelanggaran terhadap Perjanjian Perdagangan Internasional World Trade Organisation (WTO), terutama Perjanjian Hambatan Teknis Perdagangan (Agreement on Technical Barriers) dan Perjanjian Aspek Perdagangan yang terkait Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights).

Soeseno juga berharap agar negara-negara yang tergabung ke dalam Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) turut memberlakukan kebijakan retaliasi terhadap negara yang memberlakukan kebijakan kemasan polos.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan peraturan kemasan polos untuk produk minuman beralkohol jenis wine dari Perancis untuk menyikapi pemerintah Perancis yang memberlakukan peraturan kemasan polos bagi rokok asal Indonesia.

“Kami sedang mempertimbangkan untuk membuat aturan agar produk wine dari Perancis Australia memakai kemasan polos. Rokok dan tembakau bukan sekedar masalah kesehatan, tapi sudah menjadi industri, bahkan menjadi prioritas,” ujar Panggah kepada wartawan.

Senada dengan Panggah, Direktur Jenderal (Dirjen) Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Bachrul Chairi menambahkan, pemerintah Indonesia berhak mengenakan aturan kemasan polos kepada produk wine asal Perancis karena telah melanggar perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), atau perlindungan atas hak merek/paten.

“Cara ini juga bisa diberlakukan kepada produk lain dan dari negara lain. Kami terbuka dan optimistis menang pada sidang panel WTO yang bakal digelar pada tahun ini,” pungkasnya kepada wartawan.

Kebijakan kemasan polos saat ini sedang dipertimbangkan di berbagai negara di dunia seperti Perancis, Irlandia, Selandia Baru, bahkan Singapura dan Thailand. Namun, satu-satunya negara yang telah memberlakukan kebijakan kemasan polos adalah Australia pada 2012.

Pada tahun 2013, Indonesia, bersama Honduras, Republik Dominika, dan Kuba, menggugat kebijakan Australia tersebut ke WTO. Setelah melalui serangkaian proses, pada tahun 2016, panel hakim di WTO dijadwalkan akan mengumumkan putusannya. (ro)