* Peran Bank Indonesia dalam Mencapai dan Memelihara Kestabilan Nilai Rupiah dari Sektor Korporasi Nonbank
SEPERTI telah diketahui bersama, negara kita pernah dua kali dihantam badai krisis ekonomi, yakni pada 1997 dan 2008. Pemerintah ketika itu harus berjibaku untuk bisa melepaskan negeri ini dari kondisi teramat sulit. Sebelum Juni 1997, Indonesia berada dalam sebuah kondisi fiskal yang sangat nyaman. Saat itu, negara ini memiliki tingkat inflasi rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari US$ 900 juta dan cadangan devisa (cadev) di atas US$ 20 miliar.
Tetapi pada Juli 1997, titik balik terjadi. Gelombang krisis keuangan global melanda Indonesia juga tekanan politik dalam negeri yang maha dahsyat, membuat posisi fiskal nasional berakhir dan berbalik drastis. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tenggelam hingga 600 persen dalam satu tahun atau merosot dari Rp2.500 per dolar AS di 1997 menjadi Rp17.000 per dolar AS pada Januari 1998. Dan akhirnya pemerintah mengambil kebijakan fiskal konservatif dan prudent yang berfungsi signifikan terhadap akumulasi surplus.
Kebijakan yang diambil ketika itu terdiri dari penerimaan pajak yang melebihi target pinjaman batas maksimum serta pencairan anggaran di bawah pagu. Kebijakan manajemen dalam mengelola likuiditas. Setelah itu, Indonesia kembali diguncang krisis global pada 2008 meski tidak sehebat 1998. Secara fundamental Indonesia lebih tahan terhadap gejolak tersebut karena tekanan politik tidak terlalu besar.
Dengan mengelola risiko menghadapi krisis, terbukti telah memulihkan kepercayaan publik atas kondisi ekonomi dan perbankan karena kepercayaan publik sangat penting untuk menghindari rush dan ketidakberdayaan sistemik seperti yang terjadi pada 1998.
Dalam perkembangannya, Bank Indonesia (BI) mencatat 70% total Utang Luar Negeri (ULN) dalam bentuk valuta asing (valas), masih didominasi 200 korporasi nonbank dari total jumlah korporasi non bank di Indonesia yang mencapai 2.600 pelapor. Dari total ULN swasta tersebut, hanya ada 30% saja dari jumlah utang valas yang terlindung oleh program lindung nilai atau hedging. Sedangkan sisanya akan rawan terkena risiko selisih nilai tukar dan selisih pendapatan dalam bentuk rupiah serta utang dalam bentuk valas.
“Karena itulah BI merevisi aturan mengenai ULN korporasi nonbank. Dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank,” ungkap Peneliti Ekonomi Senior Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Arief Rachman, di sela-sela acara pelatihan wartawan ekonomi Jawa Timur tahun 2015, di Jember, 29-31 Mei 2015.
Menurut Arief, pemerintah tidak membatasi swasta dalam mengupayakan utang dari luar negeri. Tetapi kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri terutama korporasi nonbank tetap menjadi perhatian pemerintah.
Melihat perkembangan yang ada dimana ULN swasta melebihi utang pemerintah, BI kembali mengambil kebijakan ekstrem di tengah ancaman krisis ekonomi. Bank sentral meluncurkan lima kebijakan baru dengan tujuan meredam gejolak nilai tukar rupiah. Kebijakan ini merupakan kelanjutan paket kebijakan BI dalam menjaga stabilitas makro ekonomi. BI menerbitkan beberapa ketentuan terkait perluasan jangka waktu Term Deposit Valas, relaksasi ketentuan pembelian valas serta penerbitan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI).
Ketentuan yang diterbitkan tersebut adalah:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/5/ PBI/ 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 Tentang Operasi Moneter
2. Surat Edaran No. 15/30/DPM Perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/16/DPM tanggal 6 Juli 2010 Perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
3. Surat Edaran No. 15/31/DPM Perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/17/DPM tanggal 6 Juli 2010 Perihal Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)
4. Surat Edaran No. 15/32/DPM Perihal Perubahan Keenam atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka
5. Surat Edaran No. 15/33/DPM Perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD tanggal 27 November 2008 perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank
Ketentuan pada poin 1 sampai 4 di atas merupakan dasar hukum atas pelaksanaan lelang SDBI serta perluasan jangka waktu TD Valas. Dengan adanya ketentuan ini, BI mengharapkan bank akan memiliki ruang yang lebih fleksibel dalam melakukan manajemen likuiditas. Sedangkan ketentuan pada poin 5 mengatur tentang relaksasi ketentuan pembelian valas. Relaksasi ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas valas di pasar domestik yang pada gilirannya akan mendukung upaya Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
Kebutuhan dollar sendiri sangat besar terutama sektor korporasi nonbank. “Utang Luar Negeri (ULN) swasta kita melebih ULN pemerintah. US$163 miliar utang swasta, US$130 miliar utang pemerintah. Swasta masih banyak membutuhkan utang luar negeri. Dengan fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil tentu sangat berpengaruh terhadap pengembalian utang-utang sektor nonbank. Mereka mencetak rupiah di negeri ini dan membayarnya utang dalam bentuk dollar. Ini yang harus menjadi perhatian BI agar betul-betul menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar,” kata Farial Anwar, pengamat pasar uang, yang sempat menjadi pemateri dalam acara Pelatihan Wartawan Ekonomi 2015.
Apabila tidak, lanjutnya, krisis seperti pernah terjadi pada 1998 maupun 2008 bakal mendera negara tercinta ini lagi. Banyak faktor memang yang mempengaruhi kestabilan nilai tukar rupiah sendiri, tetapi dengan managemen ekonomi yang hebat yang awalnya krisis bukan tidak mungkin NKRI berubah surplus.
Bastanul Siregar, Redaktur Harian Bisnis Indonesia, menilai kondisi nilai tukar rupiah akhir-akhir ini secara berbeda. Menurutnya kondisi ini merupakan siklus, dimana ada saatnya rupiah stabil, merosot, bahkan bisa jadi menguat. “Sebenarnya dalam kaitan ini, ada solusi cepat maupun lambat dalam mengatasinya. Kita tahu Rusia pulih dari krisis 1990 hanya butuh waktu 10 tahun. Meskipun waktu itu rakyatnya harus membayar mahal dan korbannya sangat besar mengingat negara mencabut semua subsidi terhadap komoditas dan kebutuhan rakyat. Nah, kita ada konsensus nasional, sehingga mengatasi krisisnya secara perlahan-lahan. Korbanpun tidak seberat yang dialami Rusia ketika itu,” katanya.
Sebagai negara yang berfundamental ekonomi rapuh, banyak aspek yang harus dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu kebijakan ekonomi. “Karena dampaknya sangat besar apabila salah kebijakan. Kita masih banyak membutuhkan pembiayaan pembangunan dan modal usaha dari luar negeri,” ingatnya.
Barangkali dengan beberapa kali mengalami badai krisis ekonomi justru menjadi pelajaran berharga dalam menyongsong sekaligus membangun perekonomian nasional yang sehat dan kuat. Jangan sampai terjadi lagi dana APBN digunakan untuk menutup ULN swasta seperti terjadi pada 1998 silam. Dari sisi lain, semoga BI dalam menyusun strategi memelihara kestabilan nilai tukar rupiah benar-benar independen di era “politik” sebagai panglima di negeri ini. (asmu’i subiyantoro, sh)
Teks foto: Peneliti Ekonomi Senior Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Arief Rachman, saat menjadi pemateri pada acara pelatihan wartawan ekonomi Jawa Timur tahun 2015, di Jember, 29-31 Mei 2015.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN