Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Ibu adalah sosok mulia yang dihormati sepanjang masa. Kekuatan dan kesabarannya mampu mengalahkan dunia. Peringatan Hari ibu, menjadi satu tanda cinta atas segala pengorbanannya. Oleh karenanya, dalam PHI (Peringatan Hari Ibu) tahun 2022 ini, diusung tema yaitu “Perempuan Berdaya Indonesia Maju”.
Selain tema utama, ada juga beberapa sub tema yang dapat ditetapkan sebagai pendukung tema utama. Setiap sub tema ini, ditetapkan berdasarkan tujuan yang berbeda-beda. Sub tema 1, Kewirausahaan Perempuan: Mempercepat Kesetaraan, Mempercepat Pemulihan. Sub tema 2, Perempuan dan Ekonomi Digital. Sub tema 3, Perempuan dan Kepemimpinan, dan sub tema 4, Perempuan Terlindungi, Perempuan Berdaya. (tirto.id, 13 Desember 2022)
Jika dilihat, seluruh sub tema tersebut tampak mengarahkan pada pemberdayaan ekonomi. Misalnya saja, dalam sub tema 1 dijelaskan tujuannya yakni: mendorong kewirausahaan perempuan dengan mendorong adanya kebijakan publik untuk mengatasi care work. Mendorong peningkatan kemampuan wirausaha perempuan dalam pemanfaatan teknologi dalam berusaha. Mendorong kemampuan berwirausaha bagi perempuan penyitas kekerasan.
Sekilas, pemerintah memberi dukungan penuh terhadap nasib perempuan. Terutama dalam pemberdayaan secara ekonomi. Maka tak heran, kaum ibu digenjot untuk terus terlibat dalam peningkatan perekonomian keluarga juga negara. Pandangan negara yang menganggap keterlibatan ibu akan mampu mengatasi kemiskinan dalam keluarga nyatanya tak benar.
Buktinya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2022 adalah 26,16 juta jiwa. Sedangkan tingkat kemiskinan Indonesia pada bulan yang sama sebesar 9,54 persen. (tempo.co, 26 Agustus 2022).
Selain itu, pemberdayaan ini mendukung tercapainya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, perempuan tidak lagi dipandang rendah dan tidak mudah menjadi korban kekerasan. Padahal pemberdayaan ekonomi yang diaruskan melalui ide kesetaraan gender, sejatinya menghancurkan perempuan dan keluarga. Bagaimana tidak, sosok ibu atau perempuan jadi memiliki peran ganda. Selain menjadi ibu yang mendidik generasi, melakukan berbagai pekerjaan di rumah, juga dituntut untuk berdaya secara ekonomi.
Tentu saja hal tersebut akan membawa dampak negatif terhadap generasi. Sebab peran ibu menjadi hilang, terlebih ibu disibukkan dengan mencari uang. Maka tak heran ketika peran ibu beralih, generasi muda menjadi rusak terseret dalam kehidupan liberal dan materialistik.
Jika pemberdayaan ekonomi ini terus menggempur ibu, dapat dipastikan kerusakan generasi akan semakin parah. Sebab, fungsi ibu yang menjadi tempat generasi belajar teralihkan. Ditambah ketiadaan peran negara dalam menjaga generasi. Justru yang ada negara memfasilitasi kaum ibu agar tetap berdaya di tempat kerja. Miris bukan?
Gencarnya pemberdayaan ekonomi kaum ibu untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan negara, merupakan dalih sesat yang membajak peran ibu sesungguhnya. Selain itu juga sebagai bentuk eksploitasi terhadap ibu. Seharusnya, ibu dengan segenap kemampuannya dan peran sejatinya sebagai pencetak calon pemimpin masa depan, didukung penuh oleh negara. Namun faktanya, negara secara terang-terangan menggerus peran ibu dan merusak generasi.
Inilah kenyataan hidup dalam sistem Kapitalisme, negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya mengurusi rakyat. Dalam aturan buatan manusia ini, peran ayah atau laki-laki dalam mencari nafkah justru semakin minim. Sehingga kesempatan untuk bekerja beralih kepada perempuan, karena dianggap bahwa kaum ibu lebih cekatan dan mau dibayar murah. Oleh karenanya, tak heran banyak laki-laki diam di rumah sedangkan ibu bekerja mencari nafkah.
Dalam Islam, negara memiliki peran penting dalam mendukung pemberdayaan kaum ibu. Yakni dengan mengembalikan kepada peran utama ibu sebagai pendidik calon pemimpin masa depan. Dengan dukungan penuh dari negara, ibu bisa fokus mengemban tugasnya dan tidak dibebani mencari nafkah.
Hal ini akan menjadi nyata, tatkala sistem kehidupan Islam yang berasal dari Sang Khaliq, pencipta dan pengatur kehidupan diaplikasikan. Aturan Islam ini akan terwujud dalam negara yang menerapkan politik ekonomi Islam, yakni pemerintahan Islam. Dengan dipraktikkannya politik ekonomi Islam tersebut, negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi individu per individu secara menyeluruh.
Pemenuhan yang mendasar ini, harus sampai kepada perempuan. Baik kebutuhan sandang, pangan, maupun papan. Sehingga kaum ibu, dapat fokus menjalankan peran sejatinya sebagai pencetak generasi calon pemimpin umat. Tanpa direpotkan dalam mencari nafkah. Sebab dalam Islam, bekerja bagi perempuan merupakan pilihan bukan tuntutan.
Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan, dengan metode bahwa kewajiban nafkah ada pada suami, ayah, atau kerabat laki-laki bila tidak ada suami atau ayah. Bila mereka ada, akan tetapi tidak mampu mencari nafkah, atau mereka sudah tidak ada lagi, maka jaminannya langsung diberikan oleh negara.
Negara akan memberikan santunan tiap bulan, yang akan mencukupi kebutuhan asasi para perempuan dalam kondisi tersebut. Seperti yang digambarkan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham Ijtima’i fi al-Islam, menyatakan bahwa dalam rumah tangga Allah memberi peran bagi suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Ia wajib memimpin, melindungi, dan menafkahi anggota keluarganya. Sedangkan peran istri adalah sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Bertanggung jawab penuh dalam mengatur rumahnya di bawah kepemimpinan suami. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (TQS An-Nisa : 34)
Inilah cara Islam memuliakan dan melindungi perempuan. Yakni, dengan mengembalikan perempuan pada fungsi utamanya sebagai pendidik generasi dan pengurus rumah. Tidak ada beban untuk perempuan bekerja keras, dalam menyejahterakan ekonomi keluarga. Karena hal tersebut merupakan tanggung jawab suami dan wali.
Meskipun demikian Islam tidak melarang perempuan bekerja. Hanya saja memiliki tujuan berbeda. Yaitu, semata mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat. Dengan catatan, selama kewajibannya sebagai istri dan ibu terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, kaum ibu akan mendapatkan kesejahteraan dan kemuliaan di bawah naungan kepemimpinan Islam.
Wallahua’lam bish shawab.
More Stories
Membangun Infrastruktur Negeri tanpa Bergantung pada Investasi
Pernikahan Megah Anak Pejabat, di Tengah Kesusahan Rakyat
KUHP Baru Menuai Kontroversi, Liberalis Makin Unjuk Gigi