06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Kenaikan BBM Bersubsidi: Penindasan ala Imperialis yang Dikemas secara Manis

Oleh: Uqie Nai

Member AMK4

Menggantungkan harapan pada negara atasi persoalan umat, lalu menyolusikannya secara tepat sepertinya hanya mimpi di siang bolong.   Setelah pagebluk Covid-19 yang diiringi meningkatnya beragam beban hidup, bergulirnya ragam kasus tanpa ada kejelasan hingga wacana dan sosialisasi penggunaan BBM bersubsidi melalui aplikasi ‘My Pertamina,’ ternyata menjadi program pengantar untuk kebijakan lain yang lebih mencekik yakni menaikkan BBM bersubsidi sebelum benar-benar hilang. Alasannya lagi-lagi karena harga minyak dunia dan beratnya APBN jika subsidi dipertahankan. Bahkan membandingkannya dengan kondisi negara luar sebagaimana yang dikatakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding mayoritas negara di dunia. (Bisnis.tempo.co, 23/8/2022)

Pelayanan Tak Maksimal, Rakyat selalu jadi Korban

Meski kenaikan BBM bersubsidi ditunda sepekan, namun wacana yang telah digulirkan pemerintah bisa dipastikan berbuah realitas seperti yang sudah-sudah. Protes atau tidak adanya protes, terima atau menolak, bagi negara suara rakyat ibarat gonggongan yang tak perlu dihiraukan. “Toh nanti juga diam,” begitu kurang lebih ilustrasi terhadap sikap pemerintah saat ini.

Kepastian adanya kenaikan BBM disampaikan oleh beberapa kalangan, di antaranya datang dari Wakil Ketua III DPD Sultan Baktiar Najamudin dalam rapat kerja Komite IV DPD dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia mengatakan kondisi perekonomian Indonesia tahun ini memang menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun lalu. Namun, kondisi pemulihan itu tetap dihadapkan gejolak ekonomi global yang memberikan dampak ke berbagai aspek, termasuk kenaikan harga BBM bersubsidi. Salah satu dampak paling besar dari gejolak harga ekonomi global adalah naiknya harga minyak dunia, yang kemudian mendorong peningkatan inflasi di banyak negara.

Pada kesempatan itu Menkeu Sri Mulyani juga mengungkapkan, pemerintah memiliki tiga pertimbangan (skenario) terkait menghadapi gejolak harga minyak dunia dan tingginya beban subsidi BBM, yakni menaikkan anggaran kompensasi dan subsidi energi sehingga semakin membebani APBN; mengendalikan volume Pertalite dan Solar; atau menaikkan harga Pertalite dan Solar. (Kompas.com, 25/8/2022)

Negara harusnya mempertimbangkan bahwa setiap kebijakan yang diambil akan mengorbankan rakyat, terutama menengah ke bawah. Pasalnya, kebijakan negara yang tak diiringi dengan optimalisasi pelayanan berikut kemudahannya hanya mempertegas bahwa negara telah gagal menyejahterakan rakyat. Rakyat yang mestinya menikmati kebahagiaan dari penguasa terpilihnya, justru dijadikan sapi perah dan tumbal kekuasaan. Pernahkah mereka ada di posisi rakyat dengan segudang kesulitan hidup?

Negara harusnya cermat dalam menggali seluruh sumber pendapatan negara dan mampu menutup kemungkinan terjadinya kebocoran anggaran terhadap APBN pada setiap belanja dan transfer ke daerah. Jika kenaikan BBM bersubsidi ini goal, maka secara otomatis biaya hidup bertambah, ekonomi rakyat terpuruk, terutama yang baru merintis usaha dari nol. Selanjutnya, daya beli masyarakat akan terpangkas, pertumbuhan ekonomi akan tertahan, sedangkan para pekerja dan kelompok masyarakat bawah kenaikan inflasi umumnya tidak diiikuti kenaikan gaji hingga kesejahteraan pun menurun.

Kalaupun subsidi tetap dilanjut meski akan memakan anggaran sangat besar, semestinya tak mengapa. Di samping keberadaan subsidi adalah hak rakyat, maka tanggung jawab negaralah mencari pemasukan dari sektor lain yang tidak membebankan pada rakyat. Bukankah SDA negeri ini melimpah dengan bermacam material yang menguntungkan?

Sayangnya, sejak kapitalisme mendominasi negeri ini, tanggung jawab negara untuk mengelola kekayaan tersebut tak lagi independen. Negara dibuat lemah agar tak bisa berdiri di atas kaki sendiri. Sedikit demi sedikit fungsi negara sebagai pengurus rakyat telah berubah menjadi pemalak. Subsidi dianggap bukan kewajiban melainkan perkara yang merugikan jika terus menerus diberikan. Kapitalisme juga menjadikan negara sebagai alat untuk merampok aset publik dengan cara menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta dan asing melalui kerja sama ekonomi dan politik. Sementara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,  negara “dipaksa” berutang dengan bunga yang tak pernah tuntas. Mirisnya, ketika jeratan utang ini semakin menggunung, rakyatlah yang harus menanggung. Padahal saat negara melakukan deal politik dengan para kapitalis, rakyat tak pernah diminta pendapatnya. Oleh karenanya sangat wajar bila ke depannya tak ada lagi subsidi, kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, kriminal merajalela, generasi bangsa salah arah, dan imperialis berhasil mengobrak-abrik negara serta kedaulatannya.

Penerapan Syariat, Kembalinya Hak Umat

Dalam sistem ekonomi Islam, bahan bakar/energi masuk dalam kepemilikan umum. Ia tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, sementara untuk pengelolaannya ada di tangan negara yang hasilnya untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan. Rasulullah saw. telah bersabda tentang kepemilikan ini: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram.” Abu Sa’id berkata, “Yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (Sunan Ibn Majah No. 2463)

Bila mencermati hadis di atas maka “padang rumput” dapat diartikan tumbuh-tumbuhan sebagai makanan, baik untuk ternak dan manusia. Sedangkan “api” saat ini dapat diartikan sebagai energi (bahan bakar, tambang). Sehingga hadis tersebut dapat diartikan bahwa kaum muslim berhak atas air, pangan dan energi.

Negara yang berdiri di tengah kaum muslim dan menerapkan aturan Islam akan menjaga hak publik tersebut sesuai arahan syarak. Adapun untuk memenuhi kebutuhan lainnya  negara telah memiliki sumber keuangan dari  dari 3 tempat yaitu pos kepemilikan negara (ghanimah, fa’i, usyr, kharaj, dll.); pos pengelolaan SDA; dan pos zakat.

Ketika negara mengalami defisit karena baitul mal (pos harta) kosong, negara akan mendorong kaum muslim yang kaya untuk berinfak yang disebut dharibah. Dharibah ini sejenis pungutan pajak tapi bersifat insidental dan temporal sampai kebutuhan terpenuhi. Mekanisme ini tentu saja akan disambut kaum muslim (agniya) untuk berkontribusi pahala demi terwujudnya kemaslahatan. Kondisi seperti ini akan begitu nampak  karena warga negara muslim dalam pemerintahan Islam terkondisikan keimanannya, ketakwaannya, serta kemanfaatannya untuk Islam dan kaum muslimin. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani)

Inilah urgensitas negara dalam institusi Islam kaffah. Selain berperan sebagai raa’in (pengurus) institusi ini berfungsi sebagai junnah (pelindung) yaitu melindungi dari pelanggaran syariat atau ancaman yang menimbulkan hilangnya nyawa serta kehormatan.

“Al-Imam adalah raa’in (pengembala, pengurus). Ia akan diminta bertanggungjawaban atas apa yang diurusnya.” (HR. Bukhari)

Kedua peran/fungsi ini akan menjadikan negara berdaulat, independen, serta jauh dari intervensi asing. Tak akan ada kebijakan pro kelompok apalagi kuffar penjajah selain kebijakan berlandaskan akidah Islam. Allah Swt. akan memberikan perlindungannya pada kaum muslimin ketika syariat diterapkan sesuai arahanNya.

…ۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا

“…Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS. An-Nisa [4]: 141)

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.