Oleh: Uqie Nai
Member Menulis Kreatif4
Sesuai ekspektasi publik akhirnya pasangan suami isteri NR dan AB menjalani rehabilitasi di Bogor setelah sebelumnya ditangkap usai pesta narkoba di rumahnya.
Selama melakukan penyidikan, aparat kepolisian dituding memberikan perlakuan istimewa pada NR dan AB. Tudingan itu muncul ketika rilis penangkapan keduanya pada Kamis lalu (8/7), dimana pihak kepolisian tidak menghadirkan NR dan AB.
Atas tudingan tersebut, Kombes Pol Hengki Haryadi membantah bahwa pihaknya telah mengistimewakan keduanya. Menurutnya, saat jumpa pers NR dan AB sedang test rambut di Laboratorium Kesehatan Daerah. Sementara untuk ajuan rehabilitasi, pihaknya hanya memfasilitasi, yang memproses adalah Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagaimana diwajibkan dalam UU Pasal 54 UU No.35/2009 tentang Narkotika. Selanjutnya berkas perkara tetap diproses ke pengadilan hingga jatuh vonis. (Dikutip dari makassar.terkini.id, 11/7/2021)
Keadilan Hukum di Mata Kapitalisme
Kasus penyalahgunaan narkoba yang menjerat NR dan AB bukanlah kasus baru di negeri ini. Dari mulai gembong narkoba hingga kelas bawah, barang haram tersebut banyak menyita perhatian masyarakat terlebih jika penggunanya adalah selebritis atau tokoh publik. Beragam komentar dan sindiran atas penegakkan hukum pun ramai dilontarkan warganet.
Mantan Politikus Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean sebelumnya memberikan prediksi di akun twitternya mengenai hukuman yang akan diterima NR dan anak konglomerat Aburizal Bakrie. “Jangan terlalu berharap banyak, endingnya kuduga Rehab..!!” cuit Ferdinand seperti dikutip oleh Suara.com (9/7/2021).Tak berapa lama cuitannya mendapat 1000 like dan di-retweet hingga 173 kali oleh pengguna Twitter. Warganet pun ramai membanjiri kolom komentar dengan beragam pendapat, ada yang menilai wajar atau bahkan tidak sepakat.
Tidak salah kiranya jika warganet meragukan tegaknya keadilan hukum bagi si kaya. Ia punya uang, sanggup membayar denda dan pengacara. Bahkan untuk proses rehabilitasi begitu cepat diapresiasi. Belum lagi jika benar menjadi penghuni jeruji besi, sel terbaik dengan fasilitas mewah siap menanti.
Masyarakat hari ini sudah semakin cerdas. Dengan kecanggihan teknologi, rajin mantengin berita, pandai menelusuri jejak digital, hafal betul bagaimana penegakkan hukum di negeri demokrasi begitu mengkhawatirkan. Beberapa kali ketuk palu hakim mencederai rasa keadilan. Sebab, keadilan hukum dalam sistem demokrasi-kapitalisme seringkali tajam ke bawah tumpul ke atas. Subyektifitas pun senantiasa mewarnai proses peradilan. Yang berkantong tebal, pemangku kebijakan, akan berbeda penanganan serta sanksi hukumnya dengan si papa bahkan ulama.
Atas alasan kemanusiaan beberapa narapidana mendapat grasi, sementara untuk yang lain dipandang sebelah mata, tetap meringkuk di tahanan dengan kondisi memprihatinkan. Sebut saja kasus yang menjerat Ustadz Abu Bakar Baasyir, Jaksa Pinangki, IBHRS atau anak-anak pejabat dengan kasus kriminal dan narkoba, satu sama lain mendapat perlakuan berbeda.
Kasus berulangnya pengguna dan pengedar shabu atau barang haram lainnya yang tertangkap aparat, hingga hilangnya rasa keadilan dari hukum itu sendiri adalah bukti bahwa penyebab semua itu terletak pada sistem yang diberlakukan hari ini yaitu demokrasi-kapitalisme. Sistem yang menafikan solusi komprehensif dari Sang Pencipta dan ketentraman publik.
Tak Ada Keistimewaan Hukum dalam Islam
Dalam pandangan Islam, setiap orang sama di mata hukum. Tak ada perbedaan perlakuan antara si kaya dan si papa. Tak juga ada keistimewaan bagi bangsawan dan rakyat biasa. Saat di hadapan peradilan yang berlaku adalah saksi dan bukti-bukti persidangan (al-bayyinat). Para qadhi (hakim) wajib mendengarkan masing-masing pihak sebelum jatuhnya vonis putusan.
Perlakuan hukum ini pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Salah seorang putra beliau, Abdurrahman bin Umar diketahui minum-minuman keras (khamr) bersama kawan-kawannya hingga mereka mabuk dan mengganggu ketentraman umum. Gubernur Mesir pada saat itu yakni Amru bin Ash mencambuk Abdurrahman, tapi tidak di depan umum, melainkan di dalam rumah, karena ia tak ingin publik mengetahui bahwa putra Amirul Mukminin itu telah berbuat dosa.
Tak lama berselang, kabar itu sampai ke telinga Khalifah Umar ra. di Madinah. Kemudian Umar ra. mengirim surat kepada Amru bin Ash dengan nada marah dan mengintruksikan agar Abdurrahman dipulangkan ke Madinah hingga hukuman cambuk diberlakukan padanya di lapangan umum oleh seorang eksekutor yang ditunjuk khalifah. Setelah itu Umar bin Khattab ra., berkata: “Kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah tidak mau menindak tegas kalangan terhormat yang mencuri, tapi langsung menghukum yang lemah.”
Narkotika dan obat-obatan terlarang seperti shabu diklasifiikasikan dalam bab mukhadirat. Para ulama telah bersepakat mengkonsumsi barang-barang tersebut adalah tindakan keharaman. Untuk kasus penyalahgunaan narkoba tersebut hukumannya di-qiyaskan (dianalogikan) pada hukum peminum khamr karena ada kesamaan illat hukum yakni merusak akal. “Khamr adalah segala sesuatu yang menutup akal.” (HR. al-Bukhari-Muslim)
Dampak dari penggunaan Narkoba dan derivatnya berpeluang besar terjadinya beragam kejahatan, hal ini tak jauh berbeda dengan peminum khamr. Seseorang dalam keadaan tidak sadar bisa melakukan dosa besar dalam satu waktu. Inilah mengapa Rasulullah Saw. mengatakan khamr sebagai Ummul Khaba’its (induk segala keburukan). Diriwiyatkan oleh Ibnu Abbas ra., Rasulullah Saw. telah bersabda: “Khamr adalah induk dari segala kekejian dan dosa besar. Barangsiapa meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR. ath-Thabrani)
Oleh karena penggunaan serta penyalahgunaan narkoba berbahaya bagi pelaku dan orang lain, diperlukan tindakan tegas sebagaimana yang dilakukan masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra. Beliau memahami betul bahwa seorang pemimpin wajib mewujudkan tujuan penerapan syariah (maqashid asy -syariah) yang salah satunya adalah al-hifdz al-aqly (menjaga akal). Maknanya Islam telah mensyari’atkan hukum-hukum yang melarang pengkonsumsian segala sesuatu yang dapat mempengaruhi akal manusia. Pada saat yang sama Islam menganjurkan menuntut ilmu, merenung (tadabbur), dan berijtihad sebagai usaha untuk mengembangkan kemampuan akal manusia. Dengan penerapan syariah secara tegas oleh penguasa tanpa pilih kasih maka ketentraman serta penegakkan keadilan akan terealisasi di tengah umat.
“Al-imam (pemimpin) itu adalah pelayan. Ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat).” (HR. al-Bukhari)
Seorang pemimpin berwenang menerapkan sanksi tegas kepada pelaku kemaksiatan sesuai petunjuk Allah Swt. dan Rasul-Nya. Baik dengan dicambuk, dipenjara atau bahkan hukuman mati tergantung kondisi pelaku kemaksiatan peminum khamr/pengguna narkoba. Jika pelaku menyadari bahwa perbuatannya salah, dan barang yang dikonsumsinya adalah haram, maka negara akan memberlakukan cambuk 40 kali atau 80 kali. Namun bila si pelaku menganggap perbuatannya halal, maka ia terkategori kafir dan harus dijatuhi hukuman mati sebagaimana ijtihadnya Umar bin Khattab. Wallahu a’lam bi ash Shawwab.
More Stories
Pemberdayaan Ekonomi Jadi Siasat, Peran Ibu Tengah Dibajak
Membangun Infrastruktur Negeri tanpa Bergantung pada Investasi
Pernikahan Megah Anak Pejabat, di Tengah Kesusahan Rakyat