Oleh. Uqie Nai
Member AMK4
Sebut saja M, wanita mantan pekerja migran ini mengaku mengalami penyiksaan selama delapan tahun lebih oleh majikannya di Malaysia. Setiap bangun tidur, yang dipikirkan M adalah bagaimana ia bisa melalui hari itu. Penyiksaan yang dialaminya telah membekas luka yang sangat memilukan. Sekujur tubuhnya adalah sasaran penyiksaan setiap harinya, bukan hanya setrika yang menjadi alat penyiksaan atas dirinya tapi juga hamar, pinset, pentungan, dan tang, bahkan wajahnya menghitam karena bengkak, tulang hidungnya juga patah akibat hantaman sang majikan. Dampak dari kebiadaban itu, M mendapat beberapa cacat fisik karena luka yang tak pernah diobati. Luka belah di atas bibir, lidah terpotong, gigi dicabut, dan telinga yang tak berbentuk akan menjadi kenangan buruk M di sisa hidupnya. Pernah terbersit mengakhiri hidupnya tapi ia urungkan saat terbayang empat buah hatinya yang sedang menunggu kepulangannya.
Dengan berbagai luka yang dimilikinya, M wanita asal Nusa Tenggara Timur ini akhirnya bisa diselamatkan keluar dari ‘neraka’ yang telah membuatnya seperti mayat hidup. Namun setelah melalui drama peradilan, hakim Malaysia memvonis pelaku Serene Ong Su Ping dengan putusan Discharge Not Amounting to An Acquittal alias dibebaskan. KBRI Malaysia pun kecewa dengan putusan tak adil ini, pihaknya lalu melayangkan surat sebanyak dua kali ke kejaksaan untuk mempertanyakan kelanjutan kasus M. Sayangnya, Malaysia seolah tak serius menangani kasus-kasus penyiksaan yang menimpa pekerja rumah tangga Indonesia. (BBCnewsindonesia.com, 1/3/2023)
Sistem Ekonomi Kapitalis Memperburuk Nasib Rakyat
Fakta kelam yang dialami buruh migran memang kerap terjadi. Menggantungkan nasib di negeri asing tanpa bekal keahlian dan perlindungan negara, menjadikan mereka bak budak tak berharga. Ditambah lagi karena Indonesia tak memiliki posisi tawar atas negara luar, nasib para buruh makin tak menentu, adakalanya tak dibayar gajinya, disiksa, diperkosa hingga harus meregang nyawa. Miris. Negara mengakui bahwa mereka pahlawan devisa, karena itu terus mengirim WNI menjadi buruh, akan tetapi hak mereka sebagai manusia dan warga negara sering diabaikan.
Negeri Indonesia yang dikenal dengan ‘zamrud katulistiwa,’ ‘gemah ripah loh jinawi’ adalah negeri yang menyimpan berjuta harapan. Keindahan alam, kesuburan tanah, serta beragam kekayaan yang terkandung di permukaan dan di dalam tanah merupakan anugerah dari Sang Pencipta. Namun, apalah artinya jika kekayaan yang Allah Swt. beri tak dikelola sesuai keinginan-Nya selain kerusakan dan bencana yang terjadi. Kemiskinan hanya salah satunya.
Sejak diterapkannya sistem ekonomi kapitalis di negeri ini, kesejahteraan rakyat ibarat mimpi di siang bolong. Lahan pertanian menyempit, kebutuhan hidup selangit, hingga sulitnya mencari pekerjaan adalah dampak diterapkannya sistem tersebut. Saat lapangan pekerjaan kian sulit, kehidupan masyarakat pun berubah. Angka pengangguran bertambah, kasus perceraian meningkat, kemiskinan dan kelaparan makin banyak, termasuk kondisi anak-anak pengidap gizi buruk dan stunting makin memperjelas buruknya sistem kapitalisme. Lalu dimana peran negara?
Negara yang menerapkan ekonomi kapitalis akan menyerahkan pengelolaan alam dan kekayaan lainnya di tangan pemilik modal, baik swasta maupun asing. Padahal kekayaan alam tersebut adalah milik umum, dan seharusnya negaralah yang mengelola kekayaan negeri ini untuk kepentingan dan kesejahteraan publik sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Maka, ketika urusan publik dilandaskan pada aturan manusia, yang terjadi adalah penyerahan aset publik (umum) ke tangan kapital/pemodal. Sementara negara cukup memberi regulasi dan fasilitas bagi investor agar bebas mengeruk kekayaan milik umum. Keuntungannya? Tentu untuk kesejahteraan kelompok pemodal itu sendiri.
Masyarakat harus sadar bahwa menggantungkan harapan apalagi perlindungan pada sistem kapitalisme adalah kebodohan. Sudah demikian banyak warga mati kelaparan, tertindas di negeri asing, atau terkena bencana akibat pengrusakan alam, negara bergeming. Negara seolah sudah mati rasa dengan kasus-kasus tersebut dan tak merasa bersalah jika hal itu akibat kewajibannya tak tertunaikan, yakni sebagai pengatur dan penjaga urusan masyarakat. Inilah yang diinginkan sistem buatan kufar Barat yang bernama kapitalisme. Barat ingin menguasai harta milik umum dan menghancurkan kaum muslimin melalui negara. Negara akan menjalankan fungsinya sesuai arahan Barat, tunduk pada kemauan Barat, dan melakukan politik ekonomi yang menguntungkan mereka seperti pengelolaan tambang dan sumber energi oleh PT Freeport dan Chevron asal Amerika. Atau memeras SDM dalam negeri dengan menjadikannya buruh kontrak, mengirim TKI ke negeri jiran, membebaninya dengan pajak dan menanggung utang luar negeri.
Kembali pada Islam, Rakya Aman Sentosa
Dalam Islam, menyejahterakan masyarakat adalah tanggung jawab pemimpin negara. Kewajiban yang dibebankan syarak di pundaknya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pokok masyarakat seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal secara merata. Begitu pula kebutuhan kolektif mereka seperti pendidikan, kesehatan, serta keamanan wajib terpenuhi secara maksimal tanpa dikenai biaya.
Untuk menyejahterakan masyarakat, negara akan menerapkan sistem ekonomi yang berbasis akidah Islam. Dimana dalam sistem ini terdapat 3 kepemilikan harta, yaitu kepemilikan individu, umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu adalah hukum syarak yang ditentukan pada zat ataupun kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut. Adapun kepemilikan umum adalah izin al-syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda atau barang milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja seperti barang tambang yang depositnya tidak terbatas.
Rasulullah saw. telah bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Dan harganya adalah haram.” Abu Sa’id berkata, “Yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Sunan Ibnu Majah No. 2463)
Sementara yang dimaksud kepemilikan negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh rakyat, tapi pengelolaannya menjadi wewenang pemimpin (negara). Negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian rakyat sesuai dengan kebijakannya seperti seseorang yang menghidupkan tanah mati karena ditelantarkan pemiliknya selama 3 tahun. Kepemilikan negara ini pada dasarnya juga hak milik umum, tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.
Dengan pengelolaan harta yang sesuai tuntunan syarak, negara tidak akan membiarkan investor asing atau swasta menguasai aset publik. Negara pun akan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi laki-laki yang menanggung nafkah untuk diri dan keluarganya. Karena dalam Islam kewajiban mencari nafkah ada di pundak laki-laki, bukan perempuan/istri.
Dengan demikian, tak akan terjadi kasus para istri menjadi buruh migran di negeri asing bilamana para suami telah memiliki pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarga, ditambah kebutuhan pokok mereka juga telah tercukupi negara. Jika pun ada para suami yang bekerja di luar negeri kemudian diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya, maka negara tidak akan tinggal diam untuk menegakkan keadilan.
Wallahu a’lam bishawwab.
More Stories
Terkuak Gaya Hedonis, Peran Negara Kian Terkikis
Pemimpin Yang Merakyat Dan Peduli..
Potret Kelam Generasi, Butuh Islam Sebagai Solusi