Oleh. Uqie Nai
Member AMK4
Beberapa pekan terakhir, kabar penculikan anak demikian menyedot perhatian masyarakat. Ada yang dikabarkan meninggal dan dibuang begitu saja akibat urung diambil organ tubuhnya, seperti yang terjadi di Makassar. Ada juga korban yang dijadikan pemulung seperti yang dialami anak berinisial M yang diculik di Kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat oleh seorang pemulung bernama Iwan Sumarno. Belakangan diketahui, motif penculikan yang dilakukan Iwan ini selain untuk menjadikan korban pemulung, juga karena pelaku memiliki hasrat seksual terhadap anak. Begitu pula yang terjadi di Cilegon, Banten. Korban F (4), diculik dan dijadikan pengemis oleh pelaku berinisial HH. Namun, pada 25 Januari 2023, pelaku dan korban akhirnya berhasil ditemukan polisi di jalanan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Kasus-kasus penculikan ini tentu bukan berita yang menyenangkan dan tak bisa diabaikan begitu saja. Di samping kenyamanan masyarakat terganggu, kasus tersebut telah memberi gambaran bahwa perlindungan terhadap anak di negeri ini masih rendah. Bukan hanya para orang tua yang dibuat khawatir, sejumlah daerah pun turut bereaksi hingga mengeluarkan surat pencegahan penculikan anak seperti Semarang, Blora dan Mojokerto. Sayangnya, kekhawatiran sejumlah daerah dan masyarakat direspon biasa oleh aparat kepolisian dikarenakan ada sejumlah isu penculikan anak yang sempat viral ternyata hoaks, seperti video penculikan yang terjadi di Wisma Asri Kota Bekasi, Jawa Barat.
Tanggapan pun datang dari Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra. Menurutnya, meski polisi telah mengatakan ada beberapa kasus penculikan itu hoaks, ia berharap masyarakat tetap harus waspada. Selain memfilter informasi mana yang hoaks, para orang tua harus bisa memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak, termasuk peran dari aparat keamanan juga harus ditingkatkan, terutama di area yang rentan untuk anak seperti bangunan kosong, perhutanan, dan tempat lainnya. (Tirto.id, Sabtu 4/2/2023)
Butuh Solusi Sistemis untuk Mengembalikan Rasa Aman
Maraknya kasus penculikan anak apapun motifnya, menjadi pekerjaan rumah bagi berbagai pihak untuk mencari solusinya. Karena kasus penculikan anak tersebut tidak muncul begitu saja tanpa ada penyebab atau faktor pemicunya. Di antaranya adalah: Pertama, minimnya pengawasan orang tua. Orang tua sebagai orang terdekat bagi anak harusnya memastikan dimana dan dengan siapa anak bermain, bagaimana kondisi lingkungan, dan siapa saja orang yang bisa dimintai bantuan mengawasi buah hatinya dengan aman. Jika hal ini tidak dilakukan orang tua karena berbagai alasan seperti sibuk, banyak anak, atau lainnya, berarti telah memberi celah bagi pelaku kejahatan. Kedua, masyarakat individualis. Masyarakat yang tak peduli dengan warga sekitar termasuk anak-anak yang ada di lingkungannya akan mempermudah akses kejahatan masuk. Pelaku bisa memanfaatkan situasi ini untuk membawa korban tanpa ada yang curiga. Ketiga, abainya negara. Negara yang tidak menjalankan perannya sebagai pengurus dan pelindung rakyat adalah faktor utama kejahatan terhadap anak terus berulang. Padahal, negara punya kewajiban memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Negara juga bisa menempatkan aparat keamanan di titik-titik tertentu yang memudahkan masyarakat meminta bantuan, atau diberlakukannya sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan dan memastikan bahwa sanksi tersebut berefek jera. Sehingga, para pelaku akan berpikir ribuan kali untuk melancarkan aksi jahatnya kepada korban jika konsekuensi yang diterimanya sangat berat.
Abainya negara terhadap keamanan masyarakat ini disebabkan oleh faktor lain yang datang dari ideologi. Sementara ideologi yang diadopsi negara adalah demokrasi kapitalis. Secara konsep, kedaulatan ada di tangan rakyat, tapi secara praktik kedaulatan berada di tangan kapital (pemilik modal). Artinya, kebijakan yang dikeluarkan negara tak pernah lepas dari kepentingan kelompok ini. Baik terkait hak primer rakyat seperti sandang, pangan, papan, atau hak kolektif semisal pendidikan, kesehatan, dan keamanan kerap terjadi kapitalisasi. Rakyat yang harusnya mendapat pelayanan gratis, malah diminta mengeluarkan sejumlah biaya.
Karena ideologi itu pula negara dijauhkan dari perannya sebagai pengurus urusan rakyat. Bagaimana mereka makan, tinggal, dan memenuhi kebutuhannya diserahkan pada masing-masing individu. Apakah dengan cara yang halal atau haram, negara tak ikut campur, termasuk hilangnya nyawa manusia seolah bukan hal yang besar yang harus dipikirkan selain untung dan rugi secara ekonomi. Rugi, jika harus mengeluarkan anggaran negara untuk umat meski tahu itu hak mereka. Untung, jika aset milik publik diserahkan dan dikelola kepada swasta dan asing, meski tahu fee-nya tidak seberapa sementara rakyat akan terdampak. Rakyat bertambah miskin, meningkatnya kelaparan, atau maraknya kasus gizi buruk. Puncak dari kemiskinan, selain munculnya pelaku kriminal, juga berakibat pada ketahanan keluarga makin rapuh karena peran ganda seorang istri yang mencari nafkah untuk keluarga menyebabkan anak-anak terlantar, kurang perhatian, hingga menjadi korban kejahatan.
Dengan kondisi ini, tidak mungkin sistem demokrasi kapitalis mampu mengembalikan peran negara untuk mengatasi masalah keamanan dan melindungi anak. Kesejahteraan saja sulit diperoleh masyarakat, apalagi rasa aman. Karena rasa aman akan hadir jika rakyat sejahtera, sedangkan sistem demokrasi kapitalis tak memiliki karakter menyejahterakan rakyat selain memakmurkan korporat.
Islam Sistem Akurat dan Membawa Maslahat
Sistem yang dapat mengembalikan peran negara secara hakiki hanyalah sistem yang berasaskan akidah Islam. Akidah Islam ini akan melahirkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab akan tugasnya, terlebih dalam merealisasikan maqashid asy syariah (maksud-maksud syariat) yang salah satunya adalah al hifdz-annafs (penjagaan jiwa).
Allah Swt. telah berfirman dalam al-Qur’an: …”Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia….” (QS. al-Maidah: 32)
Dengan adanya syariat Allah Swt., tentang penjagaan jiwa, negara wajib memberikan rasa aman dan nyaman bagi publik. Di antaranya adalah mengedukasi masyarakat dengan pendidikan Islam, membangun budaya amar maruf nahi mungkar, menempatkan para syurtah (aparat keamanan) di tengah masyarakat, juga memberlakukan sanksi tegas pada pelaku pelanggaran, dari mulai takzir hingga hukuman mati. Dalam Islam, sanksi ini berfungsi sebagai jawabir dan jawazir.
Penculikan adalah salah satu tindak kriminal yang akan dikenai takzir bagi pelakunya. Takzir merupakan jenis sanksi yang kewenangannya berada di tangan qadhi (hakim), bisa berupa penjara, cambuk, salib, tergantung jenis kejahatannya. Jika penculikan berakhir pada pembunuhan dan perusakan tubuh, hukumannya adalah qishash yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya. Ini berdasarkan firman Allah Swt.:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan di dalam qishash itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian bertakwa.” (QS al-Baqarah [5]: 179)
Selain melindungi, negara akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Baik sandang, pangan, dan papan, sebagai kebutuhan primer atau kesehatan, keamanan, dan pendidikan, sebagai kebutuhan kolektif semua akan dijamin oleh negara.
Dengan hadirnya negara pelaksana syariat di tengah umat, maka darah dan jiwa manusia akan terjaga. Negara inilah yang dibutuhkan umat karena peran hakikinya lahir dari keimanan dan keterikatan pada hukum Allah Swt. Terbukti, selama hampir 14 abad Islam diterapkan, kasus kriminal hanya sebanyak 200 kasus. Bandingkan ketika Islam tidak diterapkan karena asas sekuler kapitalistik. Tiap detik, tiap menit, korban kriminal terus berjatuhan tanpa keadilan.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab.
More Stories
Menyoal Peran Negara dalam Melindungi Rakyatnya dari Trafficking
Sosok Ibu, Terkikisnya Peran Akibat Tergerus Zaman
Pemilu 2024 Pintu Masuk Oligarki