Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Beberapa hari yang lalu, rakyat Indonesia menyaksikan perhelatan megah anak salah satu petinggi negeri ini. Pernikahan yang disuguhkan dan disiarkan beberapa stasiun TV ternama, menyita perhatian banyak mata. Dua hari berturut-turut acara digelar, menunjukkan betapa mewahnya acara tersebut.
Bukan hanya media yang turut andil dalam rangkaian acara pernikahan, sejumlah pejabat pun tak mau ketinggalan untuk menyukseskannya. Seperti Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadiala. (Tribunnews, 6 Desember 2022)
Begitu juga dengan pengamanan yang terbilang luar biasa. Ribuan personel dikerahkan untuk mengawal jalannya pernikahan. Sekitar 10.800 personel gabungan TNI-Polri yang tersebar di Kota Solo dan Yogyakarta, 11 ekor anjing K-9, ratusan kamera CCTV yang tersebar di sejumlah titik, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa meninjau secara langsung demi mengamankan acara tersebut. (Okezone.co, 10 Desember 2022)
Sejenak, publik tersihir dengan kemewahan pernikahan yang disiarkan secara live. Bahkan nyaris melupakan berbagai persoalan yang menerpa bangsa ini. Di tengah kemalangan yang menimpa sebagian masyarakat Cianjur, tak menghentikan langkah penguasa nomor satu di Indonesia untuk menggelar hajatan dan pesta pernikahan.
Pesta super meriah ini, seakan-akan menjadi hajatan se Indonedia raya. Padahal kita tahu, masih ada 5.389 pengungsi korban gempa Cianjur yang menunggu uluran tangan. Juga terdapat lebih dari 2.000 warga Semeru yang terdampak erupsi dan memaksa mereka mengungsi. Banyaknya kasus stunting dan PHK massal seolah tak ada jalan keluar. Sungguh, persoalan bangsa begitu banyak yang belum diselesaikan secara tuntas.
Seandainya saja penguasa negeri ini punya sedikit kepekaan dan rasa empati, tentu saja tak sampai hati menyelenggarakan pesta begitu meriah. Banyak rakyat menderita dan sengsara akibat himpitan dan permasalahan ekonomi. Namun nyatanya, semua tak menjadi beban pikiran. Sebab acara tetap berlangsung meskipun rakyat hidup terpasung derita.
Fenomena pejabat yang pamer kemewahan, hal yang biasa dalam sistem Kapitalisme. Terkikisnya rasa kepekaan dan empati pun akan hilang terhadap rakyat. Sistem Sekulerisme berprinsip memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. Padahal agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan, dan menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin.
Kapitalisme telah membuat para penguasa negeri ini mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya. Rakyat hanya dijadikan alat kendali untuk mencapai tujuan mereka. Setelah tercapai apa yang diinginkan, mereka lupa tugas dan tanggung jawabnya terhadap rakyat.
Begitulah realitas penguasa dalam cengkeraman aturan buatan manusia. Sistem yang menyebabkan para wakil rakyat ini hidup dalam gelimang harta dan kemewahan duniawi. Mulai dari gaya hidup, pakaian, barang-barang serba bermerek, sering melekat pada mereka. Tak ayal, si kecil bernama rakyat terabaikan bahkan terkesan tak diurusi. Inilah sosok para pemimpin yang lahir dan diasuh sistem Sekulerisme Kapitalisme, menjadikan mereka tidak sungkan atau merasa bersalah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Kenyataan tersebut sangat berbeda dengan kepemimpinan Islam yang disebut Daulah Islam. Akidah Islam menjadi asas kepemimpinan, sehingga terwujud sosok penguasa yang sangat takut melalaikan amanah dan tanggung jawab mereka kepada rakyat. Sebab mereka menyadari bahwa kepemimpinan mereka akan berimplikasi pada kehidupan akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Siapapun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka. Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Juga dalam Daulah, syariat Islam menjadi panduan dalam menjalankan aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. Syariat menetapkan, penguasalah seharusnya menjadi pengurus, pemelihara dan pelindung bagi rakyatnya. Kesadaran terhadap akidah dan syariat-Nya, akan menghasilkan sifat wara’ dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakannya untuk kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk urusan pribadi walaupun sedikit.
Salah satu teladan penguasa yang memiliki sifat wara’, yakni Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diriwayatkan, ketika beliau sedang menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam, datanglah putranya untuk meminta izin menyampaikan suatu hal kepadanya. Khalifah Umar pun mempersilakan putranya masuk dan mendekat. Lalu khalifah bertanya, “Ada apa putraku datang ke sini? Untuk urusan keluarga kita ataukah urusan negara?”. Sang putra menjawab, bahwa kedatangannya adalah untuk urusan keluarga. Mendengar jawaban putranya, khalifah Umar langsung meniup lampu penerang di atas mejanya. Sehingga ruangan menjadi gelap gulita.
Tindakan beliau membuat putranya terheran-heran. Kemudian ia bertanya, mengapa ayahnya melakukan hal itu. Sang khalifah pun menjawab, “Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minyak untuk menyalakan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita.” Kemudian khalifah memanggil pembantunya untuk mengambilkan lampu pribadinya seraya berkata, “Minyak untuk menyalakannya dibeli dari uang kita sendiri.
Meskipun dalam kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz fasilitas negara hanya berupa lampu penerang, namun beliau tidak mau menggunakannya untuk urusan pribadi. Dengan sifat dan perilaku penguasa yang demikian, maka tak heran jika selama 1300 tahun keberadaan Daulah Islam, rakyat mendapat perhatian dan pelayanan luar biasa dari penguasanya. Kondisi ini tidak dapat diwujudkan oleh sistem bernama Sekuler Kapitalisme.
Demikianlah, sosok pemimpin terbaik sepanjang sejarah peradaban Islam. Memberikan keteladanan tentang kepemimpinan yang amanah dan kesederhanaan hidup saat menjadi penguasa. Jangankan menyelenggarakan pesta mewah nan megah, sekadar menyalakan lampu untuk urusan pribadi saja tidak mau. Karena menganggap bahwa hal itu sama saja menggunakan fasilitas negara yang sangat berat tanggung jawabanya. Tentu saja, pemimpin ideal hanya akan lahir dari sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai Daulah Islam.
Wallahua’lam bish shawab.
More Stories
Pemberdayaan Ekonomi Jadi Siasat, Peran Ibu Tengah Dibajak
Membangun Infrastruktur Negeri tanpa Bergantung pada Investasi
KUHP Baru Menuai Kontroversi, Liberalis Makin Unjuk Gigi