06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Mewujudkan Ketahanan Pangan dengan Sistem Islam

Oleh Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Dakwah

Indonesia merupakan negara agraris dengan lahan pertanian yang begitu luas untuk memproduksi bahan pangan bagi rakyat. Kondisi ini tentu sangat menguntungkan bagi negara untuk menjadikannya sebagai negeri yang swasembada pangan. Namun, apa yang terjadi saat ini sepertinya belum sesuai dengan harapan, dimana Cadangan Beras Pemerintah (CBP) masih di bawah angka ideal.

Sebagaimana dilansir Katadata.co.id, 26 November 2022, bahwa CBP yang dikelola oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Perum Bulog hanya mencapai 594.856 ton per 22 November 2022. Padahal idealnya adalah 1,2 juta ton, sehingga masih di bawah angka ideal yang diharapkan. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso atau yang akrab disapa Buwas untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya sudah berupaya untuk melakukan penyerapan gabah dan beras dari petani dalam negeri. Meskipun penyerapan tersebut masih di bawah target. Hal ini disampaikan pada saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Rabu, 23/11/2022.

Masih dari sumber yang sama, kondisi inilah pada akhirnya memunculkan wacana impor yang diusulkan oleh Perum Bulog. Padahal pada awal tahun 2022, pemerintah berencana tidak akan impor. Pada Oktober 2022, Badan Pusat Statistik merilis data bahwa produksi beras pada 2022 diperkirakan mencapai 32,07 juta ton. Sementara konsumsi beras diperkirakan sebesar 30,2 juta ton, yang artinya terdapat surplus hampir 2 juta ton tahun ini.

Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan swasembada pangan kurang lebih selama tiga tahun. Namun berbeda kondisinya saat ini yang justru dalam kurun enam bulan terakhir ini pemerintah mengumumkan niatnya untuk impor beras. Alasannya cadangan beras pemerintah di Bulog tidak mencukupi untuk target stok sebanyak 1,2 juta ton.

Alasan lainnya pun diungkapkan oleh para pejabat terkait. Mulai dari rendahnya serapan Bulog terhadap beras petani dan tingginya harga beras di pasaran sehingga petani lebih memilih menjual berasnya ke luar pulau dibandingkan dengan menjual ke Bulog dengan harga rendah.

Persoalan di atas menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan kurangnya koordinasi berbagai pihak terkait. Juga kegagalan dalam mewujudkan lumbung pangan untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat. Semua itu semakin memperlihatkan kepada kita bahwa kondisi negeri ini demikian karut-marut terutama dalam mengurus kebutuhan rakyatnya.

Sebab lain, pengaruh sistem Kapitalisme Demokrasi yang didominasi kepentingan oligarki juga cukup kental mewarnai kebijakan pengelolaan pangan dalam negeri. Sistem yang berasaskan manfaat dan keuntungan dan lebih memihak pihak tertentu. Misalnya, untuk kesuksesan lumbung pangan dibutuhkan benih yang berkualitas, pupuk yang murah dan sistem pendukung lain yang memudahkan petani agar lebih produktif. Namun untuk memenuhi semua itu pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan tertentu yakni kepentingan para kapitalis. Sementara, para petani kurang mendapat perhatian bahkan kerap diabaikan kepentingannya.

Dalam hal impor juga kerap diwarnai kebijakan yang bersifat kapitalistik dan politis serta rawan korupsi. Apalagi dalam hal aktivitas pengadaan, sangat rentan praktik korupsi. Alhasil selama kebijakan masih berlandaskan Kapitalisme Demokrasi, maka tidak akan berpihak kepada kepentingan rakyat namun lebih kepada kepentingan pemilik modal.

Berbeda dengan sistem Islam ketika menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Islam memiliki sistem pengelolaan terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi secara optimal.

Kebijakan pangan dalam sistem Islam akan mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan yang didukung oleh sektor industri lainnya seperti teknologi, transportasi, telekomunikasi dan sebagainya. Sehingga, kebutuhan pangan tidak tergantung pada asing. Negara juga tidak plin-plan dalam mengambil kebijakan, karena sudah diarahkan sesuai dengan Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Pemimpin dalam Islam akan bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan rakyatnya tanpa kecuali. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:”Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya. ” (HR. Muslim)

Terkait kebijakan impor, sistem Islam tidak menjadikannya sebagai solusi pangan. Negara mempunyai mekanisme sendiri untuk mewujudkan kemandirian pangan. Pertama, mengoptimalkan kualitas produksi pangan yang dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi yaitu dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, alat-alat produksi dan lain-lain. Sedangkan ekstensifikasi bisa dengan menghidupkan tanah mati.

Kedua, mekanisme pasar yang sehat dengan melarang penimbunan, praktik riba dan monopoli. Ketiga, manajemen logistik dengan memasok cadangan yang lebih di saat panen raya. Keempat, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Ekspor dilakukan jika kebutuhan dalam negeri dirasa cukup, sementara impor berkaitan dengan perdagangan luar negeri dengan melihat pelaku perdagangan bukan hanya jenis barang saja.

Kelima, prediksi cuaca sebagai antisipasi terhadap cuaca ekstrem yang akan memengaruhi produksi pangan. Keenam, mitigasi kerawanan pangan, terkait antisipasi terhadap bencana kekeringan atau bencana alam lainnya. Jika semuanya dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin ketahanan pangan dapat terwujud, para petani pun bahagia karena mendapatkan perhatian penuh dari negara. Tidak seperti para petani di alam Kapitalisme Demokrasi yang kerap menjadi kaum terpinggirkan. Oleh karena itu sudah saatnya untuk beralih pada sistem yang sahih (benar) yaitu sistem Islam yang paripurna melindungi rakyatnya.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.