06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Bahaya Moderasi di Balik Konsep Wasathiyah

Oleh Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif

Multaqa Ulama baru saja selesai dilaksanakan. Acara yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) ini berlangsung dari tanggal 13-17 November 2022 di Pesantren al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Tema yang diangkat adalah “Pesan Wasathiyah Ulama al Qur’an Nusantara.” Menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu: Prof. Dr. Said Agil Husin al Munawwar, KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dan Prof.Dr.M.Quraish Shihab yang kebetulan pada saat itu menyampaikan materi via daring. Acara tersebut diikuti oleh 340 peserta dari kalangan ulama, akademisi, praktisi dan peneliti al Qur’an dari dalam dan luar negeri. (Viva.co.id Kamis 17 November 2022)

M. Ali Ramdhani selaku Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, menyatakan bahwa multaqa diadakan untuk memfasilitasi pencatatan berbagai jalur sanad, yang merupakan bagian penting dari pengajaran dan pendidikan al Qur’an. Keputusan yang dihasilkan nanti akan ditindaklanjuti dengan kesepakatan, rekomendasi kebijakan, kerjasama dan lain sebagainya.

Dari pertemuan tersebut disepakati 6 rekomendasi, diantaranya: Pertama: Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama harus memberikan perhatian penuh pada pelayanan, pengawasan dan evaluasi pendidikan al Qur’an, dari sisi bacaan, hafalan dan implementasi nya di tengah masyarakat. Kedua: diperlukan adanya pengarusutamaan wasathiyah untuk dijadikan metode dalam berpikir dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga terwujud keberagaman yang toleran, moderat, ramah, dan rahmah di tengah kebhinekaan Indonesia.

Ketiga, Kementerian Agama perlu segera menindaklanjuti usulan revisi Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang penjenjangan pendidikan al Qur’an di Indonesia dari mulai tingkat dasar hingga tinggi. Keempat, Perlu ada penyusunan secara berjenjang dan berkesinambungan pada desain kurikulum pendidikan al Qur’an, yang di dalamnya memuat materi kekhususan ilmu-ilmu al Qur’an disertai wawasan kebangsaan, keagamaan dan isu-isu global dalam bingkai wasathiyah Islam.

Kelima, Mengingat akan pentingnya sanad untuk keabsahan jalur keilmuan, maka perlu adanya ketersambungan sanad dari sisi bacaan, pemahaman dan pengamalan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan al Qur’an yang proses pencatatannya difasilitasi oleh Kemenag. Keenam, masyarakat para orang tua, para pendidik dan pengelola lembaga pendidikan al Qur’an dihimbau untuk menanamkan ajaran yang komprehensif dan moderat.

Jika menilik pada latar belakang kemunculan, moderasi beragama adalah suatu pandangan kecurigaan terhadap agama dan menjadikannya sebagai sumber konflik dan penyebab terjadinya ekstremisme dan radikalisme, oleh karenanya, harus dilakukan deradikalisasi. Bagi para penggagasnya, moderasi disebut jalan pertengaha yang telah sesuai dengan inti ajaran Islam dan tidak menyalahi fitrah manusia.

Dari sinilah kita sering mendengar umat Islam disebut disebut sebagai ummat[an] wasath[an]. Padahal sejatinya, menuduh agama sebagai satu-satunya sumber konflik adalah kesalahan. Moderasi beragama yang diarahkan pada Islam juga merupakan wujud sikap kalah para penggagasnya. Adanya kampanye moderasi beragama hakikatnya adalah usaha agar Islam tidak tampil sebagai kekuatan nyata dalam memberikan solusi bagi segenap permasalahan umat manusia.

Pada dasarnya, ide wasathiyah merupakan bagian dari moderasi Islam yang dibawa oleh barat yang memiliki target agar kaum muslimin berjalan sesuai dengan konsep yang telah mereka gariskan agar sejalan dengan kepentingannya. Umat dibiarkan memahami agamanya secara moderat dan pertengahan tidak menjurus ke ekstrim kiri ataupun kanan. Pemahaman seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, karena hal ini mampu menggiring kaum muslimin menjadi semakin jauh dari syariat agamanya. Mereka akan mencari jalan tengah dan memadukannya dengan konsep yang ditawarkan oleh barat.

Sementara itu, munculnya revitalisasi al Qur’an, juga tidak bisa dilepaskan dengan moderasi, keberadaannya merupakan bentuk targhib (modernisasi). Karena mereka mengotak-atik dalil al Qur’an sesuai kepentingan yang jelas membahayakan akidah kaum muslimin. Inilah yang terjadi ketika sistem hukum berpijak pada sistem hukum kapitalis, umat sengaja diarahkan pada pola pikir sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Melalui moderasi beragama, pemahaman umat sengaja dikaburkan agar di mata mereka Islam tidak nampak sebagai kekuatan praktis yang memiliki segala solusi bagi permasalahan kehidupan. Melalui ide ini umat tidak diberi peluang beradaptasi terhadap perkembangan zaman dalam menghukumi fakta dengan fikih Islam. Yang ada justru dipaksa tunduk pada realita yang rusak.

Untuk itu, adalah sebuah keharusan bagi kaum muslimin untuk kembali pada ajaran Islam kafah. Tidak ada satupun nash ataupun hadis yang menyeru untuk menjadi moderat, melainkan kewajiban bagi umat untuk masuk ke dalam Islam secara menyeluruh, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al Baqarah ayat 208 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh mereka adalah musuh yang nyata bagimu.”

Demikianlah, fikih Islam wajib diamalkan secara benar karena dapat menjadi kunci kebangkitan. Wasathiyah dalam artian moderat dan revitalisasi tidak pernah dikenal dalam Islam bahkan sangat bertentangan dengan syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah saw. Umat harus dipahamkan akan hal ini dan diajak untuk kembali menerapkan hukum Allah secara kafah dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam.

Wallahu a’lam Bishawwab