06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Pendidikan Vokasi, akankah Jadi Solusi?

Oleh Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Dakwah

Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan bahwa 70℅ atau sekitar 144 juta orang pekerja yang berada di usia produktif dapat dipastikan akan sejahtera di masa tuanya. Menurutnya, apabila angkatan kerja produktif ini disiapkan dengan baik, ke depannya akan menjadi sebuah potensi besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Di dalam aturan tersebut pendidikan maupun pelatihan vokasi perlu dirancang untuk saling melengkapi kebutuhan industri dan dapat terhubung dengan sistem informasi pasar tenaga kerja. Lebih dari itu, diharapkan industri juga dapat membiayai pelatihan para pekerjanya atau mendirikan vokasi. (Kumparan.com, 30/10/2022)

Pendidikan vokasi sepertinya memang sedang terus diaruskan di tengah krisis multidimensi yang entah kapan akan berakhir. Skema pendidikan ini tampaknya benar-benar dipercaya dan menjadi jurus jitu untuk memperkuat daya saing SDM Indonesia yang terlihat masih lemah. Terutama dalam menghadapi besarnya tantangan masa depan Indonesia, di tengah era bonus demografi dan pasar bebas.

Itu artinya, di masa mendatang Indonesia akan dihadapkan pada berbagai persoalan yang tentunya membutuhkan penyelesaian. Salah satunya adalah persaingan di dunia kerja yang semakin ketat. Karena tidak hanya bersaing dengan tenaga kerja lokal saja, akan tetapi persaingan dengan tenaga kerja asing yang semakin banyak masuk ke negeri ini. Apalagi setelah disahkannya UU Cipta kerja. Dimana isinya begitu jelas memberikan peluang bagi tenaga kerja asing untuk semakin melenggang masuk ke pasar kerja Indonesia. Ditambah lagi rata-rata kompetensi mereka jauh di atas tenaga kerja lokal. Hal tersebut tentu menambah beratnya persaingan bagi tenaga kerja Indonesia.

Tersebab hal itu, kita dapat melihat betapa pemerintah telah gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan secara independen. Karena telah terkooptasi oleh kepentingan industri. Para pemilik modal (industri), merekalah para penguasa sesungguhnya. Sementara penguasa yang ada hanya dijadikan alat atau corong regulator untuk memuluskan kepentingan mereka. Sehingga pendidikan vokasi yang mereka rancang sesungguhnya hanya akan mencetak tenaga kerja teknis (buruh) bukan tenaga ahli. Maka ketika mereka masuk ke dunia kerja, tentu saja standar gaji yang diterima tidaklah tinggi.

Oleh karena itu teori yang dirumuskan, jika angkatan produktif siap bekerja dan mendapatkan upah, maka upah itu dapat menyejahterakan kehidupan mereka dan menggerakkan ekonomi, belum bisa dibenarkan dan menyentuh kepada solusi yang tepat. Sebab pada kenyataannya yang menyediakan lapangan kerja adalah industri (pemilik modal). Sementara industri itu sendiri menganggap upah adalah variable cost yang mudah ditekan. Meskipun akan ada regulasi kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2023, namun regulasi ini sesungguhnya tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama kaum buruh. Karena dalam UU Cipta Kerja itu sendiri lebih cenderung menguntungkan para korporat dibandingkan kaum buruh dari sisi gaji, maupun hak-hak lainnya.

Selain itu, kesejahteraan tidak dapat diukur hanya dengan gaji semata, namun ada banyak faktor yang memengaruhi tingkat kesejahteraan, seperti biaya hidup misalnya. Selama ini kita juga merasakan bagaimana mahalnya kebutuhan dasar publik seperti pendidikan dan kesehatan yang begitu dikomersialkan. Tentu ini akan menjadi beban tersendiri bagi rakyat yang kurang mampu. Dan mirisnya, kalangan ini justru lebih banyak di negeri ini. Berbeda dengan rakyat kalangan ekonomi atas, bagi mereka tidak akan menjadi masalah. Ditambah lagi situasi ekonomi yang dalam ancaman resesi, badai PHK pun bisa saja terjadi. Saat ini saja perusahaan besar Philips misalkan, sudah melakukan PHK besar-besaran dengan memberhentikan 4 ribu karyawannya. Kondisi ini tentu akan berpengaruh bahkan berisiko terhadap lulusan pendidikan vokasi.

Begitulah ketika sistem Kapitalisme masih dipercaya akan mampu menyejahterakan rakyatnya. Padahal jika kita mau mendalami justru sistem inilah yang akan menghambat kemajuan bangsa terutama generasi. Sistem ini pula yang telah membajak potensi generasi yang salah satunya melalui pendidikan vokasi. Karena lulusan pendidikan vokasi lebih menjurus kepada tenaga kerja teknis atau buruh. Sehingga para kapital atau para pengusaha sebagai penyangga sistem kapitalis inilah yang sesungguhnya mendapatkan keuntungan besar. Karena sejatinya itulah makna sistem Kapitalisme dimana yang bermodallah yang berkuasa.

Jauh berbeda ketika Islam dijadikan sebagai sistem hidup. Tentu hasilnya tidaklah demikian. Karena sistem ini berasal dari Allah Swt., Sang Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan. Sistem Islam telah terbukti mampu membuat sejahtera masyarakatnya dan menutup pembajakan terhadap generasi terdidik untuk kepentingan korporasi.

Sistem Islam mempunyai konsep dengan menjadikan negara sebagai penanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Dalam sistem ekonomi Islam, kebutuhan masyarakat terbagi menjadi dua, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik.

Jaminan kebutuhan pokok diwujudkan oleh negara dengan terbukanya lapangan pekerjaan seluas-luasnya yang berorientasi pada pemenuhan kemaslahatan umat. Sebagai contoh untuk pengelolaan sumber daya alam, negara membutuhkan tenaga terdidik dan terampil untuk mengurusnya. Tenaga ini akan disiapkan oleh lembaga pendidikan vokasi negara Islam. Kurikulumnya disusun untuk membekali lulusannya dengan ilmu terapan yang dibutuhkan masyarakat, bukan sekadar bernilai materi semata.

Adapun permasalahan upah, Islam mempunyai cara pandang tersendiri. Antara pengusaha dan buruh ada akad ijarah (upah mengupah) yang saling menguntungkan. Besarnya upah akan disesuaikan dengan besaran jasa yang diberikan pekerjaan, jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja. Sehingga akan menciptakan upah yang layak dan makruf bagi pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Oleh karena itu, maka tidak akan terjadi pembajakan generasi terdidik dan kezaliman bagi para buruh demi kepentingan korporasi seperti saat ini. Generasi pun dapat mencurahkan segenap potensinya untuk kebaikan Islam dan kaum muslimin. Rakyat akan sejahtera dan terpenuhi kebutuhan hidupnya.

Sedangkan untuk kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara Islam akan bertanggung jawab terhadap beban tersebut secara keseluruhan. Dengan mekanisme ini baik masyarakat miskin ataupun kaya dapat menikmati fasilitas layanan umum secara baik bahkan gratis. Tidak ada diskriminasi seperti sekarang, rakyat hanya tinggal mengalokasikan gajinya untuk kebutuhan pokok mereka dan keluarganya. Sehingga tidak dipusingkan lagi dengan mahalnya biaya kebutuhan dasar publik.

Begitulah sistem Islam dan mekanismenya terhadap pemenuhan hak-hak rakyatnya selalu menjadi solusi terbaik sepanjang masa. Segala kebijakan atau aturan yang diambil tidak satupun yang merugikan rakyatnya. Karena pemimpin dalam Islam memosisikan dirinya sebagai raa’in (pengurus rakyat). Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyatnya) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

*