23/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Terkuak Gaya Hedonis, Peran Negara Kian Terkikis

Oleh. Uqie Nai

Member AMK4

Buntut kekerasan yang dilakukan anak pejabat pajak kepada D (17) hingga koma 4 hari lamanya, ikut menguak perilaku hedonis di jajaran petinggi pajak. Selain orang tua pelaku, Rafael Alun Trisambodo yang memiliki kekayaan 56 miliar padahal jabatannya hanya eselon III, beredar pula unggahan Dirjen Pajak Suryo Utomo dan pegawai Ditjen Pajak (DJP) lainnya yang mengendarai motor gede (Moge).

Unggahan berupa video dan foto Suryo Utomo mengendarai moge bersama rekan-rekannya beredar luas di Twitter, Youtube, Facebook, dan Instragram. Para pejabat negara ini selain disebut pecinta motor gede, tergabung juga dalam komunitas bernama Belasting Rijder (pengendara pajak) dan memiliki cabang di beberapa daerah. Namun, tak lama setelah kasus kekerasan yang berimbas pada pencopotan dan terkuaknya kekayaan Rafael Alun, beberapa akun di Instragram Belasting Rijder sudah terhapus. Para pengikut dan yang mengikuti (following) pun sudah kosong alias nol. Begitu pula dengan komunitas Belasting Rijder di salah satu provinsi sudah tak bisa lagi  dilihat karena diprivat.

Atas unggahan yang kadung beredar luas itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati pun bereaksi dan mengecam gaya hidup mewah yang dilakukan pejabat di jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurutnya, perilaku tersebut bisa menyebabkan erosi kepercayaan terhadap integritas Kemenkeu sekaligus menciptakan reputasi negatif pada seluruh jajaran Kemenkeu. (Kompas.com, 26/2/2023)

Hedonis Lahir dari Sistem Demokrasi Sekuler

Terungkapnya kemewahan serta gaya hedon yang dilakukan pejabat negara bukan kali ini terjadi. Dengan kecanggihan teknologi, masyarakat sangat mudah menemukan jejak digital kejahatan dan kecurangan para pejabat. Harusnya, Kemenkeu tidak perlu merasa kebakaran jenggot setelah apa yang ditunjukkan petinggi dan para pegawai Ditjen pajak. Pasalnya, perilaku ini hampir ditunjukkan oleh semua pejabat, baik pusat maupun daerah. Dari para menteri, anggota dewan, instansi pemerintah, hingga lembaga swasta yang melayani kepentingan publik.

Jika hari ini pemerintah mengecam dan kecewa terhadap jajarannya, tak akan berpengaruh apapun terhadap rakyat. Karena yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan nyata berupa transfaransi kekayaan pejabat, dari mana memperolehnya, serta sanksi tegas yang diberikan jika ternyata kekayaan itu diperoleh dengan cara curang. Kasus rekening gendut, pejabat tak taat pajak, adalah fakta yang kerap terekspos media. Dan secara tidak langsung negaralah yang berkontribusi besar lahirnya pejabat korup, serakah, dan hedonis karena telah menerapkan  sistem demokrasi sekuler dalam setiap aturan dan perundang-undangan.

Sistem demokrasi sekuler adalah sistem yang menyerahkan kedaulatan di tangan manusia (wakil rakyat) tanpa melibatkan aturan agama. Manusia dengan hawa nafsunya bisa membuat aturan, dan bisa kapan saja melanggarnya tergantung situasi dan kondisi. Setiap celah pun akan dimanfaatkan agar menguntungkan secara ekonomi yang seolah mewajibkan pejabat harus wah dan megah. Tak heran, para pejabat semakin kaya, tapi di sisi lain masyarakat kian sengsara.

Itulah wajah demokrasi sekuler, sistem yang telah merusak mental pejabat dan merenggut tugas utama negara. Negara yang harusnya menjaga ketakwaan pejabat agar bertindak adil, lurus, sederhana, dan sensitif terhadap masalah publik justru lebih pro pada siapa yang menguntungkan. Yaitu  para kapitalis dan oligarkinya.

Dalam sistem ini negara hanya simbol pemerintahan yang berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bagi kapital, bukan sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Ketika fungsi pengurus dan pelindung tak lagi dimiliki negara, akan banyak pejabat ‘aji mumpung’ dan memamerkan kekayaan di hadapan publik tanpa merasa bersalah. Termasuk menghapus jejak digital di akun pribadi mereka demi menghindari hukum atau pengusutan kekayaan.

Islam, Sistem Terbaik untuk Mental Pejabat

Pejabat dalam pandangan Islam adalah pegawai negara yang ditunjuk untuk membantu negara melayani umat. Para pejabat ini adalah mereka yang sudah teruji  ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah Swt. dan terlihat di mata publik. Mereka adalah orang-orang terbaik yang memiliki sifat amanah dan bertanggung jawab. Namun, karena mereka adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, maka negara akan melakukan langkah-langkah preventif agar amanah jabatan tidak disalahgunakan.

Pertama, menerapkan sistem pembuktian terbalik. Sistem ini telah dipraktikkan di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau pernah mengusut harta tabungan Abu Hurairah ra. saat menjabat gubernur. Abu Hurairah ra. mengatakan bahwa harta tabungan tersebut diperoleh dari pengurusan unta miliknya yang berkembang pesat dan sejumlah pemberian dari orang lain. Umar bin Khattab lalu memerintahkan untuk mengembalikan kelebihan hartanya ke Baitulmal. Atas peristiwa ini Umar kemudian menetapkan kebijakan untuk menghitung harta pejabat sebelum dan setelah menjabat. Jika ada kelebihan harta yang tidak wajar maka harta itu dikembalikan ke Baitulmal.

Kedua, sistem penggajian yang layak. Negara akan memberikan gaji yang cukup kepada pegawainya karena mereka dituntut bekerja sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rakyat tanpa dibebani urusan ekonomi.

Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah bagi pegawai negara termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Rasulullah saw. telah bersabda: “Hadiah yang diberikan pada penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Ahmad)

Ketiga, penerapan sanksi. Para pejabat yang terbukti melakukan kecurangan seperti korupsi dan pengkhiatan(ghulul) atas jabatannya akan dikenai sanksi dari mulai pewartaan (diekspos) di hadapan publik, ta’zir, hingga hukuman mati. Ta’zir adalah hukuman yang kewenangannya berada di tangan hakim (kadi), bisa berupa hukuman penjara atau hukuman mati tergantung berat tidaknya kecurangan yang dilakukan. Sanksi dalam Islam ini bersifat jawazir (berefek jera) dan jawabir (penebus dosa) bagi pelaku atau pun orang lain.

Keempat, peran media. Media dalam sistem pemerintahan Islam diatur dan diawasi oleh negara. Keberadaannya harus sejalan dengan arahan Islam dan menjadi sarana dakwah serta jihad, bukan sebaliknya sebagaimana dalam sistem demorasi sekuler, yakni berada di tangan pemodal untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Media juga akan dipergunakan untuk mensosialisasikan kebijakan negara,  mengekspos kejahatan, hingga memberlakuan sanksi bagi pelakunya. Karena kontrol ada di tangan negara dan ketakwaan individu terjaga, maka  siapa pun yang berbuat curang akan mudah terdeteksi. Ketegasan negara dalam sistem Islam ini adalah bukti penjagaan hakiki terhadap individu dan kemaslahatan publik. Sebab Islam bukan semata agama yang memiliki seperangkat aturan, tetapi juga ideologi sahih yang mampu memecahkan permasalahan yang akan dan telah terjadi. Wallahu a’lam bi ash Shawwab.