25/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Pemilu 2024 Pintu Masuk Oligarki

Oleh: Aisyah Salsabila
Pemerhati generasi

Momentum menjelang perhelatan pemilu sudah di depan mata tepatnya 14 februari 2024. Ini tertuang dalam keputusan KPU RI 21/2022. Sejumlah hal pun disoroti, termasuk mengenai efektivitas anggaran pesta demokrasi. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dana Pemilu 2024 dan Pilkada serentak 2024 membutuhkan Rp 110,4 triliun. Untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kota/kabupaten. Jumlah dana tersebut terdiri dari anggaran kebutuhan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp76,6 triliun dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) senilai Rp33,8 triliun. Anggaran ini naik hingga 431,4 persen dari anggaran Pemilu 2019 yakni Rp25,59 triliun.

Pakar ekonomi dan politikus Indonesia Rizal Ramli menyoroti masalah anggaran Pemilu dan Pilkada serentak 2024. Menurutnya, angka tersebut sangatlah besar dan tidak menjamin lahirnya pemimpin yang berkualitas  (nasional.tempo.co)

Di samping itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan agar dana bantuan partai politik dinaikkan dari Rp 1.000 menjadi Rp 3.000 per suara. Usulan untuk anggaran tahun 2023 tersebut disampaikan dalam rapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta. (Republika.co.id).

Patut dipahami landasan hukum pemberian bantuan keuangan kepada partai politik yakni melalui Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 yang diatur dalam UU 2/2011 tentang Partai Politik. Terdapat pada Pasal 34 dan pasal 35.

Pasal 34 ayat (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:

a. iuran anggota;

b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan

c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 35 ayat (1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari:

a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART;

b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan

c. perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.

Pemilu-Pilkada 2024  dan Oligarki

Oligarki berasal dari bahasa Yunani  yakni olígos berarti “sedikit”, dan arkho berarti “mengatur atau memerintah”. Oligarkhía berarti “aturan oleh sedikit”; yakni bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.

Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy menyebut oligarki, sebagai kelompok minoritas berbasis materi yang mengarahkan kekuatan materialnya secara politis untuk mempertahankan kekayaannya dari berbagai ancaman. Ketika menghalau ancaman yang datang, para oligarki menempuhnya dengan beragam cara, dari menggunakan kekuatan perlindungan pribadi, instrumen koersif, supremasi hukum, hingga kesepakatan bersama untuk mempertahankan kekayaan mereka.

Saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan 17 partai politik peserta Pemilu 2024, berdasarkan hasil rekapitulasi verifikasi tingkat provinsi dan masa kampanye akan dilakukan selama 75 hari dari 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024.

Pesta demokrasi di Indonesia yang rutin dilaksanakan lima tahunan membutuhkan biaya besar dan waktu yang lama menjadi peluang masuknya oligarki atas jalannya perpolitikan di negeri ini. Pemerintah yang seharusnya bisa menjamin penyelenggaraan pemilu bebas dari intervensi siapa pun termasuk kaum oligarki, kenyataannya tampak berbanding terbalik.

Akar masalah dari semua polemik itu memang demokrasi yang telah membuka gerbang depan rumah negara berikut gelaran karpet merah bagi kaum kapitalis. Sehingga demokrasi melalui pemilu sebenarnya bukan untuk memilih wakil rakyat, tetapi wakil partai politik. Dan partai politik sendiri nyaris tidak independen. Sebab, mereka membutuhkan cash money untuk biaya semisal operasional, pembangunan gedung, maintenance pemilih agar tetap loyal, dan yang sudah pasti adalah untuk berkompetisi di perhelatan demokrasi.

Indikasi masuknya oligarki pada pemilu dan pilkada diantaranya besarnya dana  yang dibutuhkan, Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau walikota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada.  Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar. Angka itu naik siginifikan pada Pilkada DKI 2017. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar. Bahkan pada pilpres 2019 Total dana kampanye BPN Prabowo – Sandiaga mencapai Rp 213,2 miliar, sementara dana kampanye TKN Jokowi – Amin menembus Rp 606,7 miliar. Dana tersebut, dilaporkan kepada posko LPPDK (cnbcindonesia.com)

Tidak mengherankan pasca reformasi yang disebut-sebut sangat demokratis, keluar berbagai UU yang lebih berpihak kepada pemilik modal.  Sistem politik demokrasi juga rawan dari campur tangan asing, yang memiliki modal yang nyaris tak terbatas. Lewat boneka-boneka mereka yang berlaga, negara-negara imperialis asing mendukung penuh calon unggulan mereka yang bisa mereka kendalikan terutama untuk merancang UU yang menguntungkan mereka.

Kenyataan ini jelas terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No 30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009 tentang Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU Omnisbus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oligarki eksekutif dan legislatif. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan pembentukan UU tersebut. Dalam gugatan masyarakat sipil terhadap berbagai UU tersebut, oligarki politik didukung lembaga yudikatif (MK dan MA). (http://www.uinjkt.ac.id)

Islam Mencegah Munculnya Oligarki

Islam memiliki sejumlah keunikan yang mampu menghambat kemunculan oligarki tumbuh di dalam sistem pemerintahaan yang menerapkan Islam secara menyeluruh yang dikenal dengan Khilafah.

Pertama, kedaulatan dalam sistem Khilafah adalah di tangan Allah Swt. Sumber hukum perundangan bukan berasal dari penguasa (seperti dalam system tirani), bukan berasal dari rakyat (sebagaimana diklaim oleh demokrasi), bukan pula berasal dari elit tertentu (seperti dalam sistem oligarki). Sistem ini akan menutup peran manusia untuk mempengaruhi regulasi sesuai kepentingan mereka. Khilafah hanya mengadopsi hukum yang bersumber dari ,Al Qur’an dan as Sunnah serta apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’i.

Kedua, Sistem politik Islam bisa disebut sistem politik yang bisa memangkas  biaya politik yang mahal. Khalifah (kepala negara), misalnya, dipilih dalam waktu yang singkat (paling lama 3 hari 3 malam); jadi tidak dalam waktu yang lama seperti dalam sistem demokrasi. Pemilihan khalifah pun tidak bersifat regular seperti lima tahun sekali, yang menyedot biaya sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariah Islam. Kepala daerah pun dipilih oleh Khalifah kapan saja dan boleh diberhentikan kapan saja. Jadi negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan tentu saja uang.

Namun demikian, tidak perlu khawatir Khalifah akan menjadi diktator. Pasalnya, dalam Islam mengkoreksi Khalifah yang menyimpang bukan hanya hak, tetapi kewajiban rakyat. Karena itu rakyat diberikan ruang untuk mengkoreksi kebijakan Khalifah yang keliru. Terdapat pula Mahkamah Mazhalim yang akan memutuskan perselisihan antara rakyat. Bahkan Dr. Raghib as-Sirjani menuturkan, tugas mahkamah madzalim tidak hanya sebatas itu, tetapi juga menghentikan keangkuhan sikap serta kecurangan penguasa terhadap rakyatnya. Mereka juga bertugas memeriksa para sekretaris negara terkait tugas yang diserahkan kepada mereka, jatah para pasukan yang dikurangi, atau terlambat, atau kelalaian dalam memberikan perhatian yang semestinya. Mereka juga ditugaskan untuk mengembalikan harta rakyat yang dirampas serta mengkaji dan mengadili kebijakan penguasa yang mereka buat terhadap rakyat.

Dengan sistem politik Islam, dominasi pemilik modal dalam pembuatan UU yang berbahaya pun akan dipangkas habis. Pasalnya, dalam Islam kedaulatan itu ada ditangan As Syari’ (Allah), bukan manusia. Karena itu pemilik modal yang punya banyak kepentingan tidak bisa membuat atau mempengaruhi hukum seperti dalam sistem demokrasi. Khalifah hanya bertugas menerapkan syariah Islam yang digali dari al-Quran dan as-Sunnah, bukan membuat hukum berdasarkan hawa nafsunya.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb.