19/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Menyoal KTT G20, Benarkah Membawa Kemaslahatan untuk Rakyat?

Oleh Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Dakwah

Beberapa waktu lalu, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah pada gelaran KTT G20 yang diselenggarakan di Bali. Rangkaian acara utama pun sudah dimulai sejak Minggu, 13 November 2022. Dalam hal ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memastikan seluruh kesiapannya yang sudah mencapai 100 persen. (Jawapos.com, 13/11/2022)

Masih dari laman yang sama, kali ini KTT G20 mengusung prinsip inklusivitas di bawah kepemimpinan Indonesia sebagai tuan rumah tahun ini. Dimana melibatkan kurang lebih 17 kepala negara atau pemerintahan dan 3.443 delegasi. Namun, di tengah kebersamaan itu, muncul kekhawatiran dari puncak acara tersebut, yakni bagaimana jika komunike dari para kepala negara tidak tercapai. Sebagaimana yang kita pahami bahwa komunike merupakan suara bersama anggota G20 yang berisikan komitmen dan pernyataan-pernyataan yang disampaikan kepada publik. Di antaranya terkait isu-isu dunia saat ini yang kerap menjadi perhatian bersama dan menjadi hasil konsensus anggota forum G20.

Menyoal rasa kekhawatiran tersebut, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengaku tidak ambil pusing. Menurutnya, mencapai komunike atau tidak, yang jelas G20 telah menghasilkan banyak kesepakatan di berbagai bidang dan juga memberikan dampak ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia. Yaitu mencapai USD 533 juta atau sekitar 7,5 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2022 yang sebagian besarnya dimungkinkan akan berputar di Bali.

Masih dari sumber yang sama, lebih dari itu, saat ini juga banyak negara yang menginginkan kerjasama dengan Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya permintaan pertemuan dengan Presiden RI Joko Widodo dan meminta Presiden Jokowi untuk mengatur pertemuan bilateral tersebut, tambahnya.

Indonesia sebagai negara yang besar diyakini menjadi kekuatan dan harapan baru dengan dipegangnya presidensi G20 tahun ini. Ini menjadi sebuah prestasi dan kebanggaan bagi Indonesia tentunya. Namun di luar itu, harus dipahami juga bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini begitu kompleks. Dari tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerawanan atau konflik sosial dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lainnya yang tidak akan selesai hanya dengan didaulatnya Indonesia sebagai tuan rumah G20.

Sesungguhnya yang kita lihat di forum tersebut, keberadaan Indonesia seolah hanya sebagai Event Organizer (EO) yang melayani kepentingan negara-negara besar. Pasalnya, meskipun negeri ini telah mengeklaim mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari KTT G20 ini, namun apakah keuntungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat luas? Apakah juga dapat dirasakan untuk keberlangsungan hidup mereka, bukan hanya sesaat saja? Karena yang terlihat Indonesia justru cenderung menjadi pasar bagi negara maju, bagi kepentingan negara-negara besar, layaknya produsen dan konsumen.

Tak dimungkiri bahwa Indonesia dengan penduduknya yang begitu banyak hingga ratusan juta, tentu berpeluang menjadi sasaran empuk bagi negara produsen. Yaitu negara sebagai tempat asal pemilik korporasi global yang bebas mengatur produksi di seluruh dunia sesuai dengan kepentingan ekonominya. Seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jepang, Jerman, China dan sebagainya. Sementara di pihak lain ada negara yang posisinya sebagai konsumen, seperti Indonesia, Argentina, Meksiko, Arab Saudi dan lain-lain.

Negara-negara produsen tentu membutuhkan pasar potensialnya terhadap hasil produk barang maupun jasa mereka. Oleh karena itu mereka mempertemukan negara-negara produsen dan konsumen untuk memastikan proses produksi dan jual beli berjalan secara konsisten bahkan dapat berkembang pesat.

Selain itu, Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam (SDA) yang melimpah tentunya sangat menguntungkan negara-negara produsen untuk mengamankan stok bahan baku dan pasokan energinya. Indonesia yang memiliki tempat untuk proses produksi juga akan menjadi pertimbangan efisiensi bagi negara besar atau para kapitalis.

Karenanya, jika kita menelisik lebih dalam terkait pembentukan forum G20, tentunya tidak akan jauh dari tujuan penjajahan yang telah melekat erat dengan ideologi Kapitalisme. Ideologi yang dibangun atas asas manfaat dan kepentingan sehingga arah pandang dan tujuannya selalu bersifat materi atau keuntungan. Tersebab itu, terselenggaranya KTT G20 di Bali membawa kita untuk dapat melihat betapa negeri ini telah menjadi sasaran dan bancakan AS beserta kroni-kroninya demi mempertahankan manfaat politik dan ekonomi yang selama ini mereka nikmati. Sehingga wajar saja jika banyak yang tertarik untuk bekerjasama dengan Indonesia sebagaimana yang dikatakan oleh Luhut.

Alhasil, forum G20 jelas lebih condong pada kepentingan negara-negara besar, bukan berpihak kepada rakyat. Karena Indonesia sendiri seolah terjebak dalam kerjasama yang dilabeli dengan istilah ‘perdagangan bebas’. Dapat juga dikatakan sebagai proyek penjajahan ekonomi yang merupakan perwujudan dari sistem ekonomi kapitalis. Sistem yang telah memorak-porandakan ekonomi dunia dan memperluas penjajahannya di negeri-negeri Islam. Sistem keuangan ribawinya juga turut andil dalam kehancuran sebuah negara serta menghasilkan krisis yang berkepanjangan.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang dibangun di atas akidah Islam. Sistem ini mengandalkan sistem keuangan nonriba. Karena riba merupakan dosa besar yang telah menghancurkan tatanan ekonomi global sehingga harus dihilangkan. Apabila riba dihilangkan pada perekonomian dunia, peradaban Islam dalam sistem pemerintahan Islam akan mampu mewujudkan sistem ekonomi yang melejitkan produktivitas ekonomi manusia. Kesejahteraan rakyat sudah barang tentu menjadi prioritas utama dengan terjaminnya segala kebutuhan dasar dari pangan, sandang maupun papan.

Begitu pula dengan kebijakan fiskalnya, negara Islam akan memberlakukan sistem baitulmal. Sistem ini telah terbukti mampu melejitkan penerimaan negara dengan jumlah yang sangat besar bahkan tanpa harus memungut pajak dari rakyatnya. Selain itu, negara juga akan melakukan kebijakan moneter dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai mata uang resmi dalam kancah perdagangan internasional yang aman dari inflasi dan bebas riba. Kebijakan ini dinilai lebih memberikan keuntungan secara riil bagi negara.

Dalam urusan kerjasama, Islam telah memberikan batasan. Jika kedudukannya sebagai negara yang nyata-nyata memusuhi Islam (muhariban fi’lan) maka tidak dibolehkan bagi negara Islam untuk melakukan kerjasama. Adapun kepada kafir muahid atau negara yang terikat perjanjian dengan negara Islam, maka dibolehkan mengadakan kerjasama, asalkan kerjasama tersebut tidak merugikan atau mengancam kedaulatan negara dan harus sesuai dengan aturan syariat.

Sistem Islam juga menerapkan sistem politik perdagangan dan kemandirian industri dan pertanian. Sehingga akan mampu menguasai produk dari hulu hingga ke hilir, tanpa harus ada ketergantungan dengan negara lain. Dengan demikian negara akan semakin kuat, distribusi barang dan jasa akan berjalan dengan lancar dan perekonomian akan terus meningkat. Negara juga akan terbebas dari penjajahan negara produsen yang hanya mengambil keuntungan dari negeri-negeri konsumen. Oleh karena itu, sudah saatnya kita sebagai umat muslim untuk memperjuangkan sistem ekonomi Islam, dengan penerapan sistem Islam secara kaffah (menyeluruh).

Wallahu a’lam bi ash-shawab.