19/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Gagal Ginjal Akut, Tanggungjawab Siapa?

Oleh Uqie Nai

Member AMK4

Hingga saat ini, kejelasan bahwa obat sirup memicu gagal ginjal akut memang masih simpang siur. Dinas kesehatan (dinkes) sendiri belum dapat memastikan penyakit yang diderita para korban karena pengaruh obat bentuk cair. Menurut Faridz, Kabid Yankes Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, sejak bulan Juli sampai 25 Oktober 2022, tercatat ada enam balita yang terkena gagal ginjal akut. Empat di antaranya meninggal dunia, sementara dua lainnya masih dalam perawatan di RSCM. (Liputan6.com, Selasa, 25/10/2022)

Banyaknya jumlah pasien meninggal yang terdiagnosa gagal ginjal akut bukan di Tangerang saja, tapi wilayah lainnya di Indonesia. Informasi ini disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril bahwa jumlah kasus gagal ginjal akut bertambah menjadi 255 kasus, dengan jumlah 143 anak meninggal per Selasa, 25 Oktober 2022. Lonjakan yang cukup memprihatinkan, karena tiga hari sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap ada 241 anak yang terkena gagal ginjal akut misterius di Indonesia. Pasien yang meninggal tercatat ada 133 kasus, dan lonjakannya terjadi sejak Agustus 2022 yang ditemukan di 22 provinsi. (CNBC Indonesia, Jumat, 21/10/2022)

Gagal Ginjal Akut Butuh Penanganan Maksimal Bukan Imbauan

Meningkatnya jumlah korban akibat gagal ginjal akut merupakan tragedi yang luar biasa (extraordinary). Upaya yang harus ditempuh bukan semata menarik obat cair dari pasaran, tapi harus dilakukan investigasi menyeluruh oleh pemerintah (negara) dan instansi terkait dalam hal ini Kemenkes dan BPOM, sehingga pemerintah diharapkan bisa tegas menutup sumber masalah dan akses peredarannya.

Di samping negara memiliki tanggung jawab besar untuk mencari cara dan pencegahan agar tak ada lagi jatuh korban, negara juga berkewajiban  memberi jaminan keamanan atas obat yang dikonsumsi masyarakat. Salah satunya adalah menelusuri dari mana obat berasal, pembuatnya, kandungan, serta kontraindikasinya. Terlebih ada dugaan bahwa perusahaan farmasi yang menyuplai obat hingga menimbulkan gagal ginjal akut berasal India. Jika ini benar, tentu masyarakat berharap pemerintah harus lebih selektif dalam hubungan kerja sama dengan pihak  luar, bukan semata keuntungan secara ekonomi tapi perlindungan terhadap nyawa manusia harus diprioritaskan. Begitu pula perusahaan farmasi yang berdiri di Indonesia perlu dipastikan kembali, produknya aman atau tidak. Sebab, apalah artinya keuntungan besar bila kesehatan dan hidup masyarakat dipertaruhkan.

Dengan mencuatnya kasus gagal ginjal akut, sejatinya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak bahwa kesehatan sebagai salah satu hak dasar publik kurang mendapat perhatian maksimal dari negara yakni berupa pemerataan pelayanan misalnya, tidak ada pembedaan kelas/status sosial, ruang perawatan memadai, obat-obatan yang halal dan thayyib, tenaga kesehatan terbaik di bidangnya, alat medis yang berkualitas, serta nol biaya (gratis).  Untuk memenuhi pelayanan ini, negara bisa mencurahkan segenap kemampuannya dari berbagai sumber, semisal pengelolaan SDA yang cukup melimpah di negeri ini. Baik di darat atau laut, di atas permukaan tanah maupun di dasar bumi semisal barang tambang, minyak, mineral, dll.

Sudah saatnya bangsa dan negara ini berdaulat secara ekonomi dan politik melalui pengelolaan alam secara mandiri. Artinya, tidak memberikan celah bagi individu atau kelompok untuk memperkaya diri sendiri melalui praktik swastanisasi dan kapitalisasi.  Aktivitas semacam ini sangatlah merugikan kenyamanan publik dan menjauhkannya dari kesejahteraan. Maka, imbauan menarik obat cair  dengan kandungan berbahaya seperti zat Etilen Glikol (EG) dan DiEtilen Glikol (DEG) harus diiringi dengan aturan yang bersifat komprehensif. Jangan sampai membuat masyarakat dilematis.

Menurut pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM Prof Zullies Ikawati, adanya imbauan untuk tidak menggunakan obat dalam bentuk sirup untuk semua pengobatan menjadi keputusan yang sangat dilematis. Menurutnya, obat dalam bentuk sirup banyak digunakan untuk anak-anak yang belum bisa menelan obat bentuk tablet atau kapsul. Apabila dilakukan penghentian minum obat sirup, memungkinkan dampak serius bagi penderita penyakit kronis yang harus minum obat rutin berbentuk sirup dan selama ini tidak menimbulkan efek samping membahayakan. Contohnya anak dengan epilepsi yang harus minum obat rutin, maka ketika obatnya dihentikan atau diubah bentuknya bisa menyebabkan kejangnya tidak terkontrol. (Republika.co.id, Sabtu, 22/10/2022)

Di sinilah pentingnya peran negara. Ketika ada kebijakan untuk menarik obat yang terindikasi pemicu gagal ginjal akut, negara harus punya solusi lain yang bisa memulihkan kondisi buruk kepada kondisi yang lebih baik, di antaranya pelayanan kesehatan gratis dan obat terbaik. Sayangnya, hal ini hanya sebuah harapan utopis dalam era kapitalistik. Kebahayaan obat sirup bagi kesehatan anak-anak, sejatinya tak lebih berbahaya dari paham yang berlandaskan manfaat atau keuntungan (kapitalisme) apalagi jika diterapkan dalam skup berbangsa dan bernegara,  memungkinkan lepasnya tanggung jawab pemimpin melindungi  rakyatnya.

Islam Solusi Tepat atas Masalah Umat

Pandangan Islam terhadap kesehatan melebihi pandangan dari peradaban manapun. Islam menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah: “Mintalah oleh kalian ampunan dan kesehatan. Bahwasannya, setelah nikmat keimanan tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR. Hakim)

Islam juga memandang bahwa kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik, baik muslim atau nonmuslim. Islam telah meletakkan dinding tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Maka negara dalam sistem pemerintahan Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan serta pelayanan kesehatan masyarakat karena tugasnya sebagai raa’in.

“Imam (pemimpin) itu adalah raa’in/pengurus. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang pengurusannya (rakyat).” (HR. Bukhari)

Layanan kesehatan yang berkualitas dijamin keberadaannya oleh negara dan diperuntukkan untuk semua warga yang membutuhkan tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial serta agama. Hal ini telah dicontohkan Rasulullah saw. terhadap Kabilah ‘Urainah yang datang ke Madinah.. Tak lama setelah keislamannya, mereka lalu jatuh sakit. Rasulullah saw. selaku kepala negara saat itu  kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba. Untuk pemulihan kesehatan, Rasul saw. mempersilahkan mereka minum air susu unta tersebut secara gratis sampai sembuh.

Era setelah Khulafaur Rasyidin, pelayanan kesehatan yang diberikan negara tak pernah pupus, bahkan mengalami kemajuan yang luar biasa dengan didirikannya rumah-rumah sakit modern yang berkualitas,  didukung hadirnya para ahli dan ilmuwan muslim yang berkontribusi dalam dunia kedokteran dan kesehatan, makin menambah tingginya peradaban Islam.

Jaminan kesehatan dalam Islam adalah fakta riil yang sulit ditemukan masa sekarang. Selain asasnya akidah Islam, jaminan ini  memiliki empat karakter dan mekanisme luar biasa. Pertama, pelayanan bersifat universal. Siapa pun berhak mendapat pelayanan ini,  tanpa ada pengkelasan dan pembedaan ras dan agama. Kedua, pelayanan dan obat berkualitas diberikan secara gratis. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Kelima,  biaya pelayanan. Sumber utama APBN dalam sistem ekonomi Islam berasal dari pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semuanya diperuntukkan untuk memberikan pelayanan optimal dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.  Wallahu a’lam bi ash Shawwab.