18/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Karut Marut Swasembada Pangan di Balik Isu Kenaikan Mi Instan

Oleh: Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif

Siapa yang tak mengenal mi instan? Semua kalangan umumnya tidak asing dengan jenis makanan ini, tidak tua, muda bahkan balita pun menyukainya. Rasa yang enak dan harga yang terjangkau membuatnya begitu digemari. Namun berdasarkan isu yang berkembang, harga mi instan akan mengalami kenaikan tiga kali lipat. Hal ini tentu cukup berdampak di tengah masyarakat.

Kemungkinan akan terjadinya kenaikan harga diungkap oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin. Menanggapi hal tersebut, Bhima Yudhistira selaku Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) menyatakan bahwa jika kenaikan benar terjadi, maka garis kemiskinan akan terancam naik. Karena mi instan menduduki posisi kelima yang berkontribusi besar dalam menentukan garis kemiskinan. Kenaikan bisa berdampak memunculkan inflasi yang akhirnya memicu bertambahnya jumlah orang miskin. (TEMPO.CO Minggu, 14 Agustus 2022)

Untuk itu, pemerintah perlu mencari substitusi dari bahan mi instan, walaupun pasti akan sulit karena terjadinya krisis bahan pangan khususnya gandum, yang tengah melanda berbagai negara di dunia. Hal inilah yang memicu negara pemasok gandum untuk menjaga stok, ditambah lagi adanya perang Ukraina telah menghambat pengiriman gandum di laut hitam.

Terkait substitusi, pada dasarnya belum tentu dapat menjadi solusi. Mengingat belum ada kepastian dapat mengejar laju produksi dalam waktu singkat. Karena untuk bisa merealisasikan substitusi gandum, perlu didorong oleh insentif pupuk, yang sebelumnya hanya diberikan pada bahan pangan tertentu saja seperti beras, jagung dan kedelai.

Berbeda dengan Bhima, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), Ratna Sari Lopies menyatakan bahwa melonjaknya harga gandum tidak akan secara otomatis menaikkan semua produk berbasis terigu seperti mi instan. Walau harga gandum per Agustus 2022 naik sebesar 76% dan peluang untuk menaikkan harga kepada masyarakat ataupun industri terbuka lebar, namun pasokan gandum di dalam negeri masih mencukupi. Ketika terjadi kenaikan pun tidak akan memberatkan pihak konsumen dan industri.

Karut marut masalah pangan adalah bukti kesalahan sistem penanganan. Sejak awal pemerintah tidak seharusnya membiarkan swasembada hanya pada bahan pokok saja, sementara bahan pangan lainnya bergantung pada impor. Ketika terjadi kelangkaan akibat stok yang menipis hal inilah yang menjadi penyebab harga melambung tinggi.

Sayangnya, alih-alih melakukan swasembada berbagai jenis bahan pangan untuk menutupi kekurangan dan mencukupi kebutuhan rakyatnya, pemerintah justru menetapkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini semakin memperjelas fakta bahwa Indonesia begitu bergantung pada impor. Padahal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, tanah air tercinta ini mampu mewujudkan kemandirian pangan.

Inilah yang terjadi saat kapitalisme dijadikan pijakan. Negara menjadi terbelenggu oleh perjanjian internasional yang begitu mengikat. Lembaga semacam WTO hanya membuat negeri ini jauh dari kata mandiri dan hanya mampu bergantung pangan luar negeri. Selama aturan rusak kapitalisme masih digunakan, permasalahan pangan yang melanda, akan terus berulang.

Sangat jauh berbeda dengan Islam, sistem ini memiliki konsep agraria yang berkeadilan. Yaitu dengan mengklasifikasikan kepemilikan harta dan menghidupkan tanah mati agar dapat dimanfaatkan dan dikelola masyarakat. Selain itu, politik pertanian dalam Islam juga mengacu pada peningkatan produksi dan distribusi pangan yang adil.

Negara tidak boleh membiarkan lahan pertanian habis tergerus oleh industri, karena sangat berpengaruh pada terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat. Selain itu diperlukan juga adanya upaya intensifikasi, yaitu dengan meningkatkan produktivitas lahan. Negara berupaya melakukan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani, menyediakan kebutuhan dan sarana seperti mesin, bibit unggul, pupuk dan lain sebagainya.

Selain itu, upaya ekstensifikasi juga diperlukan, yaitu dengan membuka lahan baru dan menghidupkan tanah mati. Negara akan memberi modal pada siapa yang mengelolanya, dan menjadikan tanah itu menjadi miliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad:
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya. Dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim dengan menanaminya.”

Adapun terkait distribusi, Islam menetapkannya secara adil dan merata. Negara melarang adanya penimbunan dan permainan harga di pasar untuk menjaga stabilitas harga pangan. Kebijakan distribusi akan dilihat dari sisi kebutuhan per kepala sehingga dapat diketahui berapa banyak yang harus dipenuhi oleh penguasa.

Demikianlah, keadilan dan kesempurnaan sistem Islam. Dengan mengadopsi kebijakan yang telah ditetapkan syariat, maka kemandirian pangan akan terwujud. Namun semua itu hanya akan terlaksana sempurna tatkala Islam diterapkan dalam sebuah sistem pemerintahan. Sehingga keberkahan akan menyelimuti seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a’lam Bishawwab.