19/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Karhutla Berulang, Siapa yang Diuntungkan?

Oleh: Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Dakwah

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) kembali terjadi. Kali ini si jago merah melahap lahan kawasan Bukit Perombahan (Simpang Gonting), Desa Aek Sipitudai, dan kawasan Bukit Desa Siboro, Kecamatan Sianjur Mulamula, pada Jumat 5 Agustus 2022 malam. Hal itu dibenarkan oleh Camat Sianjur Mulamula, Sihar Limbong dan tokoh masyarakat Kenegrian Limbong, Jongar Limbong kepada pihak Sumut.poskota.co.id saat dihubungi via telepon. Menurutnya api sudah berhasil dipadamkan setelah sebelumnya dari pihak kepolisian dan pemadam kebakaran ikut turun tangan. (Sumut.poskota.co.id, 06/08/2022)

Di tempat lain, tepatnya di Provinsi Riau hutan dan lahan seluas 1.060,85 hektare pun mengalami nasib serupa. Angka tersebut dihimpun selama periode Januari hingga Juli 2022. Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edy Afrizal menyampaikan rekapitulasi luas lahan kejadian Karhutla tersebut tersebar di berbagai daerah di Riau yaitu sekitar 12 kabupaten dan kota. Di antaranya Rokan Hulu 302,50 hektare; Kampar 139,47; Bengkalis 136,70; Rokan Hilir 147; Pelalawan 113,20; Indragiri Hulu 31,90; Indragiri Hilir 80,50; Kuansing 0,50; Meranti 32,1; Siak 13,24; Pekanbaru 13,79; dan Dumai 49,95 hektare. (Kumparan.com, 05/08/2022)

Kebakaran hutan seolah sudah menjadi bencana tahunan. Dampak yang diakibatkan juga luar biasa. Tidak hanya di aspek kesehatan saja, akan tetapi berimbas pada ekonomi masyarakat. Mulai dari kabut asap yang mengancam kesehatan masyarakat hingga munculnya berbagai penyakit seperti sakit tenggorokan, pilek, mata merah, asma, bronkhitis, radang paru-paru hingga merenggut korban jiwa. Di bidang ekonomi, akan berpengaruh kepada menurunnya jumlah pendapatan masyarakat dan juga tingkat produksi karena hutan sebagai sumber daya alam yang produktif kini semakin berkurang akibat kebakaran.

Namun sangat disayangkan, sejauh ini solusi yang diberikan oleh para pemangku kebijakan masih sebatas pada permukaan semata, belum sampai menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Seperti mitigasi bencana, meminimalkan munculnya titik api, membuat hujan buatan hingga menangkap tersangka pelaku pembakaran. Alhasil, peristiwa yang sama pun akan berulang terlebih pada musim kemarau.

Jika kita cermati, kebakaran hutan atau Karhutla bukan hanya terjadi karena faktor alam saja. Namun ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya. Manager Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Boy Even Sembiring mengatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi bukan saja karena ulah manusia, tetapi disebabkan juga oleh negara sebagai pembuat kebijakan. Misalnya kebijakan mengenai pemberian izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah terkait pemanfaatan lahan, pembukaan perkebunan, dan berbagai kebijakan lainnya yang berimbas pada kebakaran hutan.

Permasalahan Karhutla sejatinya adalah problem sistemik yaitu akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang landasannya adalah manfaat dan keuntungan. Dalam sistem tersebut, hutan dan lahan dipandang sebagai harta milik negara, bukan milik rakyat. Karenanya negara menganggap mempunyai wewenang untuk menyerahkan kepemilikannya kepada swasta atau korporasi di dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan tersebut.

Hal ini tentu disambut dengan baik oleh para korporat selaku pihak yang memiliki modal, karena yang ada dalam mindset mereka sudah jelas yaitu keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa harus mengeluarkan modal yang banyak. Sementara itu, aktivitas membakar hutan dalam rangka pembukaan lahan dianggap cara yang paling mudah dan murah. Sehingga tidak perlu repot-repot bernegosiasi dengan pemilik lahan yang akan membuang waktu dan tenaga. Hal ini tentu sesuai dengan target mereka para korporat yang hanya memikirkan keuntungan semata tanpa memperhatikan dampak dan bahayanya bagi lingkungan. Dengan membuka lahan atau perkebunan, mereka akan lebih mudah melakukan bisnisnya dan mengembangkan usahanya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Lebih dari pada itu, negara dalam sistem Kapitalisme tunduk kepada kepentingan kapitalis. Para pemilik modal lebih berkuasa bahkan dapat melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Sementara negara berfungsi sebagai regulator yang memuluskan penguasaan lahan para korporat melalui kebijakan negara meskipun kebijakan tersebut cenderung merugikan rakyatnya. Jelaslah bahwa akar persoalan Karhutla adalah penerapan sistem batil Kapitalisme Neoliberal yang membiarkan kaum kapitalis mengeruk untung dari kebakaran hutan yang terus berulang ini.

Masalah karhutla sejatinya tidak akan berulang jika diselesaikan dengan cara pandang yang benar yaitu Islam. Dalam sistem ekonomi Islam hutan tropis terkategori harta milik umum yang harus dijaga kelestariannya untuk kemaslahatan umat. Ia memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan jutaan jiwa. Rasulullah saw. bersabda yang artinya:

“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud)

Hutan dan lahan termasuk kategori padang gembalaan dan negara bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian fungsi hutan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:

“Imam adalah ibarat penggembala dan ia bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya.” (HR Muslim)

Artinya negara yang bertanggung jawab langsung untuk pengelolaan dan pemanfaatannya termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman jika terjadi kebakaran. Negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporat. Sebaliknya negara harus bertindak tegas terhadap siapapun yang akan merongrong kelestarian sumber daya alam apalagi sampai kepada pembakaran hutan.

Dengan mencampakkan sistem batil Kapitalisme Neoliberal dan menerapkan syariat Islam secara kaffah niscaya kebakaran hutan dan lahan tidak akan terjadi lagi. Karena hanya itulah satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Al-Khaliq, yang akan membawa keberkahan di setiap aturan-Nya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.