19/04/2024

Jadikan yang Terdepan

BUMN Gulung Tikar, Benarkah Hanya Salah Manajemen?

Oleh: Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Dakwah

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhir-akhir ini diberitakan banyak yang bangkrut dan nyaris gulung tikar. Sontak publik pun bertanya-tanya, ada apa dengan perusahaan plat merah tersebut hingga menelan banyak kerugian dan tidak mampu lagi bangkit? Dikutip suara.com, Rabu (20/7/2022) beberapa BUMN yang bangkrut dan dinyatakan pailit di antaranya:

Pertama, PT Industri Sandang Nusantara (ISN) yang akan dibubarkan oleh Erick Thohir karena terus merugi dan dikategorikan sakit kronis, meskipun beroperasi di banyak wilayah di Indonesia.

Kedua, PT Pembiayaan Armada Niaga Nasional (PANN) yang bergerak di bidang multifinance untuk perkapalan. Perusahaan ini memiliki beban utang sejak 1994 tanpa memperoleh pemasukan.

Ketiga, PT Kertas Kraft Aceh (KKA) yang diketahui berhenti sejak 2007 karena kesulitan mendapatkan bahan baku.

Keempat, PT Merpati Nusantara Airlines yang berhenti mengudara sejak 2014 lalu, karena kalah saing dengan armada yang bertarif murah seperti Lion Air.

Kelima, PT Industri Gelas. Perusahaan ini tak mampu lagi menanggung beban usaha sehingga presiden memintanya untuk dibubarkan. Pada tahun 2018 beban usaha perusahaan mencapai Rp6,56 miliar dan masih terdapat beban lain-lain sebesar Rp57,13 miliar serta beban bunga Rp48 miliar.

Fakta di atas telah membuktikan betapa terpuruknya kondisi perusahaan-perusahaan plat merah saat ini. Padahal selama ini BUMN kerap begitu mudah mendapat kucuran dana dari pemerintah, namun mengapa masih saja merugi bahkan utang pun kian menumpuk?

Jika kita menelisik lebih dalam, kebangkrutan BUMN disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah paradigma yang keliru dalam pengelolaan BUMN yakni paradigma bisnis yang lahir dari prinsip liberalisasi pengelolaan SDA. Kedua adalah pengelolaan BUMN yang tidak profesional dan penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Paradigma bisnis dalam sistem ekonomi kapitalis landasannya adalah untung rugi bukan kewajiban dan pelayanan. Pemerintah diposisikan sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Oleh karena itu memberikan subsidi kepada rakyat dianggap sebagai beban, sehingga berusaha untuk dihapuskan dengan alasan agar tidak merugi.

Adapun pengelolaan BUMN yang tidak profesional dan sarat dengan KKN itu dapat dilihat dari keberadaan direksi dan komisaris yang masih diisi dengan para relawan yang tidak memiliki track record atau pengalaman di bidangnya. Ini berdampak pada kinerja BUMN yang buruk dan pada akhirnya menjadi sapi perah partai politik. Selain itu, korupsi juga kerap mewarnai tubuh BUMN. Menurut Erick Thohir, pada tahun 2019 lalu ada 159 kasus hukum di bawah kementeriannya. Di antaranya PT Pertamina, Angkasa Pura II, PLN, Pelindo, Krakatau Steel, Garuda Indonesia dan BUMN lainnya.

Paradigma lain yang menyebabkan bangkrutnya perusahaan-perusahaan plat merah tersebut adalah cara pandang yang salah terhadap aset negara, individu dan rakyat atau milkiyah daulah, milkiyah fardiyah dan milkiyah ammah yang lahir dari sistem Kapitalisme Neoliberal. Aset negara yang dipandang atas asas untung rugi dalam pengelolaan dan pemanfaatannya menyebabkan BUMN lebih cenderung menguntungkan segelintir pihak, individu maupun kelompoknya serta menghalangi dari kemaslahatan rakyat luas. Bahkan aset negara atau kepemilikan rakyat sah-sah saja diperjualbelikan, selama ada pihak yang bermodal besar dan sanggup mengelolanya. Padahal BUMN yang dikelola dengan paradigma Kapitalis Neoliberal hanya menjadikan negara berlepas tangan dari tugas mengurusi urusan rakyat. Alhasil, siapa yang memiliki modal besar, dialah pemilik sesungguhnya dan menjadi pihak yang paling diuntungkan.

Sangat berbeda dengan Islam ketika memandang aset negara. Islam mengatur mana kepemilikan individu, negara, dan mana kepemilikan umum. Ketiganya diatur sesuai syariat Islam. Kepemilikan individu adalah izin asy-Syari’ (Allah Zat yang Maha Pembuat Hukum), kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Kepemilikan ini tidak bisa didapatkan kecuali ada penetapan oleh asy-Syari’ dan juga didasarkan atas sebab-sebab kepemilikannya.

Adapun harta milik umum dan negara pada hakikatnya adalah harta milik umat yang harus diurus sesuai ketentuan syariat dan diselenggarakan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Harta milik negara adalah izin dari pembuat hukum yaitu Allah Swt. atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara. Seperti harta ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah,1/5 harta rikaz, ‘ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik negara.

Harta tersebut akan digunakan untuk berbagai kebutuhan yang menjadi tanggung jawab negara dalam rangka mengatur dan memenuhi urusan rakyat. Seperti menggaji pegawai, akomodasi jihad, pembangunan sarana dan prasarana publik dan sebagainya. Negara berhak memberikan kepada individu atau sekelompok individu rakyat. Atas dasar itulah negara boleh memberikan harta kharaj kepada petani untuk memajukan pertanian maupun perkebunan mereka.

Semetara terhadap harta milik umum, negara tidak boleh memberikan pokok atau asalnya kepada seseorang meskipun seseorang tersebut boleh memanfaatkan tanah milik umum tersebut berdasarkan kesertaan dan andil dirinya atas harta tersebut. Oleh karena itu air, garam, tambang minyak dan harta milik umum lainnya tidak boleh diberikan kepada seorang pun dari rakyat.

Adapun harta yang termasuk kategori milik umum lainnya di antaranya adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh rakyat secara luas. Seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Termasuk juga jalan-jalan, jembatan, pelabuhan dan fasilitas umum lainnya seperti listrik, komunikasi, transportasi dan lain-lain. Semua itu kewajiban negara untuk mengaturnya sebagai tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Itu dari sisi kepemilikan harta. Adapun terkait dengan BUMN, Islam memandang BUMN adalah badan usaha yang dibentuk oleh negara untuk mengelola sumber daya ekonomi yang masuk dalam kategori kepemilikan pribadi seperti pabrik mobil, perusahaan properti dan lainnya. Lain halnya dengan sumber daya alam milik umum, tidak boleh atau haram pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta. Namun jika terkategori milik pribadi, boleh swasta mengelola dan memilikinya. Bahkan dalam kondisi tertentu negara juga bisa bekerjasama atau syirkah dengan swasta untuk mengelola BUMN tersebut.

Badan usaha ini harus melakukan riset, eksplorasi, pengolahan dan distribusi kepada rakyat. Dalam mendistribusikannya tidak boleh berorientasi pada laba atau keuntungan melainkan berupa pelayanan kepada publik sebagai bentuk tanggung jawab negara. BUMN ini juga harus dikelola oleh orang-orang yang profesional, yang memiliki keahlian di bidangnya, bukan berdasarkan KKN. Rasulullah saw. bersabda yang artinya:

“Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR al-Bukhari).

Sistem Islam yang sempurna juga memberikan gaji yang layak kepada pegawai atau pekerja sehingga tidak ada celah atau peluang bagi mereka untuk melakukan tindakan yang merugikan negara seperti korupsi. Untuk kasus korupsi ini Islam pun begitu mengupayakan agar para pejabat negara tidak terjerumus ke dalamnya. Harta kekayaannya akan dihitung dan dicatat penambahannya sebelum ia menjabat dan saat menjabat. Agar dapat diketahui bilamana ada penambahan harta yang meragukan. Sanksi yang tegas juga akan berlaku bagi para koruptor, bisa dengan cara publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan peringatan bagi kaum muslim pada umumnya.

Demikianlah, sangat berbeda cara pandang Kapitalisme Neoliberal dengan Islam mengenai pengelolaan harta kekayaan dan landasan yang menopangnya. Sistem Islam sangat memerhatikan kemaslahatan rakyatnya, tidak ada istilah untung rugi dalam melayani rakyat, karena yang diharapkan hanyalah ridha Allah semata. Namun semua itu hanya dapat terwujud ketika aturan Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh)] yang akan mengantarkan pada derajat manusia yang mulia.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.