28/03/2024

Jadikan yang Terdepan

Aroma Memalak di Balik Pemungutan Pajak

Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif

Diluncurkannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) pada 14 Juli lalu menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat. Pasalnya, dengan pemberlakuan tersebut diduga nantinya mereka yang memiliki NIK secara otomatis diwajibkan membayar pajak. Dugaan ini dibantah oleh Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo yang menegaskan bahwa hal itu tidak berlaku otomatis.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa perkara wajib pajak telah diatur dalam Undang-undang Perpajakan yaitu dikenakan pada mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar 54 juta atau 4,5 juta rupiah per bulannya. Di bawah angka tersebut, pajak tidak harus mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. (Bisnis.com Minggu 24 Juli 2022)

Namun bak bola panas yang terus bergulir, isu ini semakin berkembang hingga menuai pro dan kontra. Munculnya tagar stop bayar pajak tersebar luas hingga memancing Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk berkomentar. Ia menyebut mereka yang tidak mau membayar pajak adalah orang yang tidak ingin tinggal di Indonesia dan tidak ingin melihat Indonesia maju. Menkeu pun mengimbau agar ajakan-ajakan tersebut tidak ditanggapi.

Komentar Sri mulyani mendapat kritikan dari Partai Garuda. Teddy Gusnaidi menilai respon sang Menteri terhadap pihak penyeru boikot untuk tidak tinggal di Indonesia, terlalu berlebihan. Menurutnya aturan hukum terkait hal tersebut telah jelas, ketika terjadi pelanggaran pembayaran maka serahkan pada proses hukum yang berlaku. Teddy juga menyatakan bahwa seruan untuk stop bayar pajak tersebut tidak akan mudah dipraktekkan, karena di negeri ini segala sesuatunya telah terikat pajak. Bahkan banyak yang tidak menyadari bahwa mereka telah membayar di setiap transaksi yang dilakukan.

Munculnya tagar Stop Bayar Pajak pada dasarnya merupakan ungkapan hati terdalam dari masyarakat yang sudah lelah dengan tekanan ekonomi yang kian menghimpit. Keadaan ekonomi yang dirasa semakin berat sejak terjadi pandemi, hingga kini masih belum beranjak pulih. Belum lagi harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, tarif pajak yang baru mengalami kenaikan pada bulan April lalu sebesar 11% . Sementara pendapatan tidak bertambah.

Di tengah tekanan pajak, berbagai kasus korupsi kian mencederai hati. Uang pajak yang dipungut dari rakyat, nyatanya dinikmati oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka wajar jika tagar itu viral sebagai ungkapan rasa kecewa. Walaupun pada akhirnya keviralan itu menghilang seiring berjalannya waktu, menyusul pernyataan Menkeu yang menyebut orang yang tidak mau membayar pajak, tidak ingin tinggal di Indonesia dan tidak mau melihat negeri ini maju.

Kondisi perekonomian yang semakin karut marut, memaksa para pemangku kekuasaan untuk mencari berbagai alternatif sumber pemasukan. Dan pajak menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan. Diresmikannya NIK menjadi NPWP pada tanggal 14 Juli 2022, baru akan berlaku secara menyeluruh pada 1 Januari 2022. Walaupun dikatakan bahwa tidak semua pemilik NIK akan menjadi wajib pajak, namun tampak jelas bahwa hal ini merupakan strategi agar tidak ada celah bagi rakyat untuk tidak ditarik pajak.

Demikianlah, pajak menjadi sumber utama pendapatan dalam sebuah negara penganut sistem ekonomi kapitalis. Sementara kekayaan alam melimpah yang seharusnya menjadi modal untuk mengurusi urusan rakyat, justru diserahkan pengelolaannya kepada asing. Alih-alih mengolahnya demi kepentingan rakyat, penguasa lebih memilih menarik pajak dari rakyatnya dan menetapkan sanksi bagi siapapun yang mengabaikannya, inilah jalan tercepat dan termudah untuk menghasilkan pendapatan negara. Terlebih, dalam sistem kapitalis, pemungutan pajak berlaku permanen, masyarakat selamanya akan menjadi objek pajak, dan akan terus meluas hingga tidak ada satu pun celah untuk bisa lolos darinya.

Lain kapitalisme lain pula dengan Islam, sistem ini tidak menerapkan konsep pajak seperti kapitalis. Dalam Islam dikenal istilah “dharibah” konsepnya sangat jauh berbeda. Di mana penerapannya hanya dilakukan secara temporal saat kas negara tengah kosong sementara kebutuhan mendesak tidak dapat ditunda lagi. Pemungutan pun hanya dilakukan pada warga yang kaya saja, yaitu orang-orang yang masih memiliki harta simpanan yang cukup setelah terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, papannya, termasuk pendidikan juga kesehatannya. Pungutan tidak diambil dari fakir miskin, bahkan mereka lah yang berhak mendapat santunan.

Ketika kebutuhan telah terpenuhi, maka pemungutan pun akan dihentikan. Negara tidak akan selamanya menjadikan pajak sebagai pemasukan karena selanjutnya akan fokus mengelola SDA yang hasilnya ditujukan untuk kemakmuran masyarakat. Karena penguasa yang merupakan pengayom negara bertanggung jawab penuh untuk mengurusi urusan rakyatnya. Menjadi pelindung dan akan selalu terdepan dalam menjaga kepentingan mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. al Bukhari dan Muslim:
“Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepadanya”

Demikianlah indahnya gambaran kepemimpinan dalam Islam. Saat aturan Allah diterapkan di seluruh aspek kehidupan, sistem ini akan menafikan kezaliman dan lebih mengutamakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Semua itu hanya akan terlaksana sempurna dalam naungan sebuah pemerintahan Islam.

Wallahu a’lam Bishawwab