19/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Kasus Bullying Mencuat, Mental Generasi Kian Sekarat

Oleh: Uqie Nai

Member AMK4

Entah siapa yang patut disalahkan ketika kasus bullying anak kembali mencuat bahkan menggegerkan media dan masyarakat. Selain pelakunya masih anak-anak, jenis bullyingnya pun di luar nalar manusia normal yakni menyuruh korban untuk menyetubuhi kucing. Tak pelak, korban (11 tahun) yang juga teman sebaya pelaku mengalami depresi berat hingga meninggal dunia saat dirawat di rumah sakit.

Kasus yang  terjadi di Kabupaten Tasikmalaya ini pun membuat kepolisian dan KPAID Tasikmalaya turun tangan. Polisi memeriksa 15 orang termasuk keluarga korban, saksi di sekitar lokasi perundungan, dan orang yang merekam. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) melakukan pendampingan terhadap keluarga korban dan pelaku yang masih di bawah umur.

Selain melibatkan aparat dan KPAID, peristiwa ini juga mengundang perhatian Presiden Jokowi disela-sela pidatonya pada puncak Hari Anak Nasional, di Kebun Raya Bogor. Ia mengatakan kasus perundungan/bullying adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan kerja sama dari orang tua, sekolah, tenaga pendidik, hingga masyarakat agar kasus serupa tidak terulang. Jokowi berharap semua elemen ini dapat menjaga dunia bermain anak dari perundungan. (Kompas.tv, 23/07/2022)

Bullying Butuh Penanganan Mengakar tapi bukan Liberal

Menurut Psikiater RSIA Limijati Kota Bandung dr Elvine Gunawan, kasus bullying baik ringan atau seperti di Tasikmalaya sudah termasuk ekstrem, bukan lagi bullying secara verbal, tapi ini lebih kekerasan secara fisik walaupun menggunakan cara berbeda. Perilaku terduga pelaku harus diobservasi lebih jauh. Pasalnya hal tersebut terjadi di luar nalar karena anak lain pada kondisi normal tidak punya pikiran untuk menyuruh orang untuk menyetubuhi hewan. Menurutnya, dalam kasus bullying ini ada ketidakseimbangan kekuasaan dimana pelaku memiliki power full melakukan hal tersebut kepada orang lain. Untuk itu perlu ditarik lagi ke belakang bagaimana pola asuh anak, kepedulian keluarga, apakah anak ini lihat percontohan, pernah lihat konten di media sosial seperti film porno misalnya atau lainnya. (Detikjabar.com, Kamis, 21/7/2022)

Kasus bullying memang butuh perhatian dan kerjasama semua pihak. Tidak sepenuhnya orang tua atau pihak lain menyalahkan kepada pelaku yang notabene masih anak-anak. Sejatinya mereka juga adalah korban. Korban pengasuhan, pendidikan, media, pergaulan, terlebih sistem.

Keluarga adalah institusi terkecil di tengah masyarakat yang memiliki tanggung jawab utama mendidik anak-anaknya, terutama ibu sebagai madrasatul ula harus mampu mendampingi putra-putrinya sebelum berinteraksi sosial dalam lingkungan pertemanan dan pergaulan di luar rumah. Pendidikan tentang benar-salah, positif-negatif, halal ataukah haram, seharusnya sudah tertanam kuat dari pengasuhan orang tua di dalam rumah. Kemudian diperkokoh dengan pendidikan di sekolah, pengajian, lingkungan, dan pertemanan yang memiliki pemahaman yang sama.

Begitu pula dengan peran media. Orang tua harus bisa mengarahkan bagaimana menggunakan gadget, internet, dan aplikasinya secara bijaksana. Gadget diberikan sesuai usia dan kebutuhan anak yang sifatnya positif dengan tetap melakukan pendampingan serta kontroling.

Dari sekian peran yang berkontribusi terbentuknya karakter anak, negaralah yang memiliki andil paling besar. Selain tanggung jawabnya memberikan kenyamanan terhadap individu masyarakat melalui pemberian hak pokok dan kolektif rakyat, negara juga harus menjadikan media sebagai sarana edukasi dan sosialisasi pendidikan yang sahih. Dan yang paling berpengaruh dari negara adalah diberlakukannya sanksi tegas atas setiap penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan individu atau kelompok.

Namun, peran sentral tersebut tak mungkin bisa diharapkan jika negara masih menganut ideologi kapitalisme sekuler seperti saat ini, termasuk dalam sistem pendidikannya. Pendidikan yang sejatinya mewujudkan individu yang cerdas dan berakhlak mulia, kini terjadi kapitalisasi dalam setiap itemnya seperti PPDB, sarana prasarana, kurikulum, bahan ajar dan pembelajaran, sementara aturan agama semakin dijauhkan. Akibatnya, negara bukan saja berlepas tangan dari tanggung jawab hakikinya melayani publik tapi membiarkan terbukanya celah bagi pelaku kebebasan yang berakhir dengan perundungan atau pembajakan generasi melalui Citayam Fashion Week (CFW) yang baru-baru ini  menarik perhatian kaum kapitalis hedonis yang menjadikan momen CFW untuk meraup materi. Oleh karena itu, negara dalam naungan sistem kapitalisme tidak akan menyadari bahwa sistem tersebutlah sebagai sumber persoalan umat yang harus dicampakkan, yang berimbas pada ketidakmampuan negara mewujudkan generasi bebas dari perundungan (bullying) dan pembajakan kapitalis.

Solusi Mengakar hanya dengan Islam dan Penerapan Syariat

Dalam pandangan Islam, anak-anak adalah aset berharga yang bisa mengantarkan Islam pada puncak peradabannya. Untuk itu Islam memiliki arahan khusus agar generasi lebih berkualitas secara akliah dan nafsiah yang ditopang dengan beberapa mekanisme. Diawali dengan membangun ketakwaan individu, masyarakat, dan negara. Kedua, menjadikan sistem pendidikan di seluruh wilayah negara berbasis akidah Islam,  dengan output para siswanya bersyakhsiyah islamiah (berkepribadian Islam). Ketiga, menjelaskan tentang pentingnya peran ibu sebagai madrasatul ula dan ummu ajyal dalam pendidikan generasi. Keempat, mencegah praktik kezaliman dengan menghidupkan budaya amar makruf nahyi mungkar di tengah masyarakat. Kelima, menegaskan tentang fungsi dan peran negara (pemimpin) sebagai raa’in, junnah, dan pelaksana maqasid asy syariah (menjaga agama, jiwa, harta, akal, nasab, dan kedaulatan negara). Keenam, penegakan sanksi.

Rasulullah saw. telah bersabda tentang kewajiban seorang pemimpin (kepala negara): “Imam itu adalah pengurus/penggembala dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya (rakyat).” (HR. Al Bukhari)

Tanggung jawab ini hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam dengan penerapan Islam secara kaffah. Maka, tugas negara dalam sistem ini selain berupaya terlaksananya hukum syara di tengah umat, negara wajib mewujudkan generasi yang berkualitas, mampu menjaga fitrah anak, menjadikannya produktif dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah, dan selalu menjadikan halal dan haram sebagai pedoman hidupnya sehingga menjadi generasi terbaik di masa mendatang. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an,

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّا سِ تَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَا نَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَ كْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh kepada yang makruf,  mencegah dari yang mungkar, dan kalian beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali Imran [3]: 110)

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.