19/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Elpiji Naik Lagi, Rakyat Kian Terbebani

Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif

Belum lagi terselesaikan kasus minyak langka di pasaran, masyarakat harus kembali menelan pil pahit ketika dihadapkan pada pemberlakuan kebijakan yang baru diterapkan. Pemerintah resmi menaikkan harga LPG non subsidi pada akhir bulan Februari yang lalu. Kenaikan itu konon merupakan bentuk penyesuaian untuk mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas.

Irto Ginting selaku Pjs.Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina (Persero) mengungkapkan bahwa penyesuaian harga tersebut telah melewati pertimbangan kondisi serta kemampuan pasar, dan menyebut bahwa harga yang ditetapkan lebih kompetitif dari negara ASEAN lainnya. Setali tiga uang dengar Irto, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menganggap kenaikan tersebut adalah langkah wajar. Mengingat harga di pasar Internasional sedang mengalami kenaikan yang signifikan. (TRIBUNNEWS.COM 28 Februari 2022)

Irto mengungkapkan bahwa harga Contract Price Aramco (CPA) saat ini mencapai 775 dollar AS/metrik ton. Mengalami kenaikan sekitar 21% dari harga rata-rata di sepanjang tahun 2021. Tentu hal ini akan berdampak pada harga yang diberlakukan di pasaran, pasti harus ada penyesuaian.

Setidaknya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dari kenaikan harga LPG bersubsidi tersebut, yaitu: Pertama, beralihnya konsumen dari penggunaan tabung 12 kg menjadi 3 kg. Karena secara harga sangat jauh berbeda sementara kualitas tetap sama, tentu yang dipilih adalah yang termurah. Kedua, adanya peluang terjadinya praktik pengoplosan yang sangat beresiko bagi keamanan.

Hal tersebut diungkap oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Oleh karenanya untuk mencegah terjadinya resiko-resiko tersebut, ia berharap agar disparitas harga antara LPG bersubsidi dan non subsidi lebih diperkecil dan distribusi gas elpiji 3 kg dijadikan tertutup.

Inilah negara penganut sistem kapitalis. Berbagai kebijakan yang ditetapkan, alih-alih mampu menyelesaikan hingga ke akar permasalahan, justru semakin menambah rumit situasi yang ada. Solusi yang diberikan cenderung pragmatis dan tidak jelas arah. Kapitalis sekuler menjadikan pengurusan urusan antara penguasa dan rakyat tak ubahnya seperti penjual dan pembeli. Ditambah lagi dengan terjadinya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha, menjadikan kebijakan yang ditetapkan lebih cenderung fokus pada kepentingan para pemilik modal, sementara rakyat selalu menjadi pihak yang dikorbankan.

Kekayaan alam yang melimpah berupa migas maupun sumber daya alam lainnya yang seharusnya menjadi hak rakyat, nyatanya hanya dinikmati oleh para korporasi. Mereka dengan leluasa mengeruk dan menguasai tanpa peduli kondisi rakyat yang kian tercekik akan kebutuhan hidup yang menghimpit.

Di sisi lain, penguasa justru disibukkan oleh proyek-proyek berbasis utang yang unfaedah. Tidak jarang proyek tersebut hanya mendatangkan kerugian hingga berimbas pada rakyat yang harus memikul beban melunasi utang yang terus membengkak. Inilah kepemimpinan kapitalis yang sarat akan kesewenang-wenangan dan cenderung pada kepentingan pribadi segelintir pihak.

Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan kemaslahatan masyarakat menjadi prioritas utama bagi seorang pemimpin. Oleh karenanya, Islam telah menetapkan aturan yang akan menuntun kepemimpinan seorang penguasa agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengurus umat.

Aturan Islam terkait pengurusan umat pun sangat lengkap dan solutif menyentuh hingga ke akar permasalahan. Termasuk dalam masalah ekonomi, Islam mengatur masalah kepemilikan dan telah menetapkan bahwa masalah sumber daya alam termasuk energi sebagai kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR Abu Dawud dan Ibnu Majah:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, api dan padang gembalaan.”

Berdasarkan hadis tersebut, terkait kepemilikan umum milik umat, siapapun tidak boleh menguasainya demi kepentingan pribadi, kelompok, termasuk penguasa. Negara hanya berkedudukan sebagai pengelola dan tidak boleh menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan Islam.

Seandainya negara mengambil keuntungan, hal itu dibolehkan jika manfaatnya diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat. Apakah berbentuk pemanfaatan secara langsung dan gratis, atau bisa berupa subsidi yang bisa diperoleh secara mudah dan murah.

Sebaliknya, diharamkan bagi penguasa menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum ini pada swasta maupun asing, karena hal tersebut dapat menimbulkan ketergantungan pada pihak asing, agar kafir penjajah tidak bersikap semena-mena dalam mengatur dan mengendalikan kaum Muslim. Sehingga kedaulatan negara tetap terjaga dan tidak diremehkan di dalam kancah perpolitikan internasional.

Demikianlah, faktanya hanya Islam lah sebagai solusi bagi setiap permasalahan kehidupan. Kesempurnaannya akan terasa secara nyata ketika diterapkan dalam sebuah sistem kepemilikan Islam yang akan menerapkan hukum Islam secara kafah.

Wallahu a’lam Bishawwab