20/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Moral Pemerintahan Ambruk 2024, Kemana Rakyat Bernaung?

Oleh. Uqie Nai

(Member AMK4)

Prediksi Ekonom Faisal Basri bahwa moral pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin akan ambruk  sebelum 2024 sangat mengejutkan publik. Ungkapan itu disampaikan Faisal Basri dalam Webinar IM57+ Institute bertema ‘Benturan Kepentingan dan Bisnis Pejabat: Dampak Kerusakan & Modus Operandinya’ yang digelar secara daring, Sabtu (29/1).

Menurut Faisal, ambruknya moral tersebut dikarenakan skandal yang dilakukan mayoritas elite di lingkaran pemerintahan semakin banyak, bahkan konflik kepentingan saat ini sudah dalam tahap kritis (critical moment) dan elemen-elemen yang ada di pemerintahan akan saling buka skandal bila merasa tidak ada pembagian yang merata. Ia juga menyebutkan bahwa konflik kepentingan yang berbahaya adalah kala pejabat negara ikut berbisnis. (cnnindonesia.com, Sabtu, 29/01/2022)

Apa yang diungkapkan Ekonom Faisal Basri, diakui pula oleh Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Faldo Maldini. Faldo mengklaim bahwa negara selama ini tak pernah menutup mata soal skandal para elite di pemerintahan. Namun, pemerintah selama ini selalu mendengarkan masukan dari berbagai pihak, sebut saja misalnya lembaga penegak hukum yang awalnya diragukan masyarakat, sudah membuktikan dan menjawab keraguan tersebut dengan mengungkap pelbagai skandal yang terjadi. Faldo juga menegaskan jika saat ini pemerintah masih berada di jalan yang baik meskipun dalam kondisi berat. (cnnindonesia.com, Minggu, 30/01/2022)

Kapitalisme, Akar Masalah Krisis Moral

Tak akan ada asap jika tak ada api, tak akan ada skandal jika tanpa pemicu. Kondisi negeri yang menerapkan paham kapitalisme sekuler dalam institusi negara adalah akar masalah munculnya skandal di pemerintahan. Para petinggi yang harusnya bahu membahu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, justru mereka sendirilah yang bergotong-royong mengambil hak rakyat melalui kebijakan yang mereka buat. Korupsi, jual-beli aset umum, politisasi vaksin, PCR, adalah contoh kecurangan yang bisa dilakukan pejabat publik. Dan tidak mustahil keburukan di hulu ini berbuah serupa di hilir, selama ada kesempatan dan hilangnya kontrol negara.

Negara dalam sistem kapitalisme sekuler memungkinkan sekali lahirnya skandal para elit politik dan berkolaborasi merugikan dana bangsa dan negara. Sebab, negara dalam sistem ini tak punya kepentingan menjaga ketakwaan individu masyarakat dan juga pejabat. Negara justru berupaya menjauhkan peran agama dalam aktivitas kenegaraan dan riayah suunil ummah. Semua aspek kehidupan umat yang seharusnya terikat dengan norma syariat, justru sangat dihindari para penguasanya, meski ia muslim sekalipun.

Paham kapitalisme sekuler yang merupakan ideologi dari kufar Barat menginginkan semua elemen masyarakat, baik  pejabat atau rakyat biasa untuk memfokuskan diri pada pencapaian yang bersifat materi. Ada kebebasan yang sangat besar untuk memperkaya diri, curang, culas, untuk meraih keuntungan dunia, dengan cara apapun. Karena dari paham ini pula munculnya kebebasan berpendapat, berperilaku, beragama, dan kepemilikan, ditambah lagi tolok ukur kebahagiaan bagi kaum kapitalis adalah materi, bukan keridaan Allah Swt. dengan standar halal-haram atau baik-buruknya suatu perbuatan.

Kondisi di atas adalah cermin gagalnya sebuah ideologi yang dianut negara. Ideologi yang mengantarkan pada hancurnya moral para elit pemerintahan karena sebab menjauhi syariat, mengambil hukum buatan manusia, menyerahkan kekuasaan/jabatan bukan di tangan ahlinya, maka kehancuran suatu negeri tinggal menghitung hari. Sebagaimana pandangan Imam Al-Ghazali yang menyebut agama dan negara merupakan saudara kembar, di mana agama merupakan pondasi dan negara sebagai penjaga. Jika pondasi (agama) runtuh maka peran penjaga (negara) pun akan sirna.

Terapkan Syariat, Moral Umat dan Negara Pasti Terjaga

Untuk menjaga moral masyarakat dan pejabat hingga kokohnya pemerintahan, tak ada solusi lain selain diterapkannya syariat dalam bingkai negara.  Negara akan berperan sebagaimana arahan Islam, yakni sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung).

Dalam perannya sebagai pengurus, negara akan melayani kepentingan umat kepala per kepala dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara mereka atau dengan pemerintah. Sebagai pelindung, negara akan menjaga ketakwaan individu, memberikan rasa aman, dan kenyamanan dari terampasnya hak secara batil.  Kedua peran ini akan ditampakkan melalui sosialisasi undang-undang (hukum), dakwah, serta jihad yang berasaskan akidah Islam. Adalah suatu keniscayaan jika warga negara Islam memahami betul keutamaan tolong menolong dalam kebaikan, bukan tolong menolong dalam keburukan (dosa), seperti firman Allah Swt. dalam surat al-Maidah [5]: 2.

Dengan pemahaman terhadap firman Allah ini tentu tidak akan terjadi skandal para elit politik dalam kecurangan dan penipuan atau bahkan saling bongkar keburukan manakala terjadi dispemerataan, baik jabatan atau fee. Sebab, jabatan dalam sistem negara Islam, bukan suatu kebanggaan atau ajang meraup kekayaan tapi wasilah menegakkan aturan Allah dan rasul-Nya agar menjadi investasi akhirat. Rasulullah telah bersabda:

Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan utang.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi)

Untuk menjaga ruhiyah (keimanan) pejabat dan juga wujud tanggung jawabnya menegakkan maksud syariat, pemimpin negara akan menasehati pejabatnya sebelum diangkat. Jabatan yang sejatinya adalah amanah, yakni datang dari kepercayaan umat, maka dapat dipastikan pejabat yang mendapat mandat adalah ahli di bidangnya, juga orang yang  adil dalam pelaksanaannya. Sebagaimana peringatan yang disampaikan Baginda Rasulullah saw. berikut: “Sesungguhnya akan datang di tengah-tengah kalian, para pemimpin sesudahku, mereka menasihati orang di forum-forum dengan penuh hikmah, tetapi jika mereka turun dari mimbar mereka berlaku culas, hati mereka lebih busuk daripada bangkai. Barang siapa yang membenarkan kebohongan mereka, dan membantu kesewenang-wenangan mereka, maka aku bukan lagi golongan mereka, dan mereka bukan golonganku, dan tidak akan dapat masuk telagaku. Barang siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka, dan tidak membantu kesewenang-wenangan mereka, maka ia adalah termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka, dan mereka akan datang ke telagaku.” (HR. At-Thabrani).

Kepemimpinan dalam pandangan Islam bukan sekadar kontrak sosial, antara pemimpin dengan rakyatnya, namun merupakan perjanjian antara pemimpin dengan Allah Swt.  Tanggung jawab seorang pemimpin jauh lebih besar dari yang lainnya, yaitu dunia hingga akhirat. Oleh karenanya,  hanya dalam sistem dan ideologi Islamlah makna ini mampu terealisasi, berbuah pribadi salih dan berdedikasi tinggi untuk umat dan agama, dari mulai individu, masyarakat, dan negara semuanya saling bersinergi membangun peradaban ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’.’

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.