24/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Ulama Diteror, Rasa Aman Kian Horor

Oleh: Chusnatul Jannah

Penusukan yang dialami Syekh Ali Jaber benar-benar menyita perhatian publik. Dikutip dari tempo.co (15/9/2020), kasus penyerangan ulama atau tokoh agama oleh orang yang dianggap mengalami gangguan kejiwaan bukan kali ini terjadi.

Imbasnya, banyak pihak yang meragukannya dan meminta polisi mengusut tuntas. Berikut sejumlah kasus serangan terhadap tokoh agama yang diduga dilakukan oleh orang gila:

Pertama, Pembunuhan Komandan Brigade PP Persatuan Islam (Persis). Komandan Brigade PP Persis, Prawoto (40), tewas mengenaskan setelah dihajar tetangganya sendiri menggunakan besi pada Kamis (1/2/2018). Polisi sempat menyatakan jika pelaku diduga mengalami gangguan jiwa. Namun, setelah menjalani pemeriksaan dan persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung mengatakan Asep tidak terbukti gila.

Kedua, Penganiayaan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah, Kiai Umar Basri, dianiaya seseorang di dalam masjid usai salat subuh pada Sabtu (27/2/2018). Kepolisian setempat menyatakan Asep mengalami gangguan jiwa karena saat ditanya tidak konsisten dalam menjawab pertanyaan penyidik.

Ketiga, Penusukan Imam Masjid Al-Falah Pekanbaru. Ustaz Yazid ditusuk saat memimpin doa sehabis salat Isya, diserang pelaku berinisial IM (24). Peristiwa ini terjadi pada Kamis (23/7/2020).

Keempat, Penyerangan terhadap Kiai Hakam Mubarok di Lamongan. Peristiwa ini bermula saat Kiai Hakam meminta pelaku yang sedang tidur di pendopo pesantren untuk bangun dan keluar. Pelaku menolak pindah lalu menantang beliau. Usai pelaku ditangkap kepolisian, orang tua pelaku mengatakan anaknya mengalami gangguan jiwa.

Terbaru adalah kasus penusukan Syekh Ali Jaber di Lampung. Awalnya pelaku diduga mengalami gangguan jiwa. Namun, belakangan, pelaku terbukti tidak gila. Ia mengaku merasa tertekan dengan suara sang ulama hingga akhirnya nekat menikam Syekh Ali Jaber.

Di Balik Teror “Orang Gila”

Melihat kasus pelaku diduga gila yang menyerang ulama, maka beberapa hal yang perlu kita cermati dari kasus ini adalah:
Pertama, teror “orang gila” kepada ulama.

Jika penyerangan terhadap ulama sekali terjadi, mungkin publik tidak akan berspekulasi. Namun faktanya, setiap ada kasus serangan terhadap ulama, pelaku selalu diduga orang gila. Inilah yang membuat publik bertanya-tanya. Mengapa “orang gila” mendadak sasar ulama?

Apakah gerakan “orang gila” ini terstruktur dan terencana?

Bahkan, Anwar Abbas, Wakil Sekjen MUI mengatakan ada rekayasa kasus terhadap ulama. Jika perlu, bentuk tim independen untuk mengungkap kasus ini. Hal ini beliau sampaikan saat acara Apa Kabar Indonesia Pagi TvOne, Selasa (15/9/2020). Maka, sangat wajar bila publik mencurigai ada dalang di balik penyerangan terhadap ulama. Insiden ini sangat tidak biasa terjadi. Korbannya para ulama, pelakunya selalu disebut gila. Kebetulankah? Bila dipikir secara akal sehat, sangat aneh bila ini dianggap sebagai kebetulan semata. Mungkin saja ada yang sedang memancing di air keruh. Menciptakan horor dan teror bagi umat Islam.

Kedua, minimnya rasa aman bagi ulama di sistem sekuler.

Serangan brutal yang menimpa ulama menunjukkan bahwa peran negara nihil menjamin keamanan. Ulama menjadi sasaran penyerangan. Dakwah santun diserang fisik, dakwah tegas diserang secara verbal. Seperti narasi radikal dan intoleran. Serangan fisik dilakukan pelaku yang diduga “gila”. Sementara serangan verbal dilakukan oleh mereka yang bahkan mengaku muslim.

Tampilan good looking dianggap sebagai benih radikalis. Konten dakwah yang tegas dan tidak berkompromi terhadap kezaliman dianggap memecah belah. Bentuk serangan verbal dengan narasi radikal ini seringkali dialami para dai yang mengkritik kebijakan zalim penguasa. Alhasil, lahirlah persekusi sebagai akibat narasi dan stigma kepada ulama yang lantang menolak paham-paham yang bertentangan dengan Islam.

Ketiga, penyerangan terhadap ulama adalah salah satu wujud Islamofobia yang kian mewabah.

Bentuk Islamofobia itu bermacam-macam. Masih segar di ingatan bagaimana sentimen kepada Islam menggejala. Ciri-ciri radikal yang disebut mengarah pada simbol dan ajaran Islam. Seperti celana cingkrang, cadar, Khilafah yang dinarasikan terlarang dan tertolak, bendera tauhid yang disebut bendera teroris, dan segudang kalimat yang terus memojokkan Islam dan ajarannya.
Keempat, ilusi kebebasan dalam demokrasi.

Kebebasan beragama menjadi salah satu prinsip kebebasan dalam demokrasi. Dikatakan dalam teorinya, setiap orang berhak menentukan agamanya masing-masing. Tak beragama pun juga menjadi hak asasi bagi mereka. Faktanya? Jika berhadapan dengan Islam dan pemeluknya, kebebasan beragama itu hanya ilusi. Umat Islam tetap menjadi bulan-bulanan diskriminasi di negara demokrasi. Toleransi beragama bagai mimpi. Hal ini bisa kita lihat dari realitas kebebasan beragama bagi umat Islam di negara kampium demokrasi. Mereka justru mengalami pelecehan, persekusi, hingga intimidasi.

Demokrasi Sistem Absurd

Inikah kebebasan beragama dan berpendapat yang diagungkan dalam demokrasi? Yang pasti, demokrasi tidak pernah memberi ruang bagi Islam untuk bicara secara utuh. Mereka hanya membatasi Islam boleh disampaikan sebatas sebagai ibadah ritual. Inilah fakta sesungguhnya sistem pemerintahan demokrasi yang berasas pada sekularisme.

Maraknya persekusi yang dialami umat dan ulamanya beberapa tahun terakhir, juga mengindikasikan virus Islamofobia sudah tersebar di kalangan umat Islam. Tujuannya jelas ingin menciptakan ketakutan terhadap Islam. Targetnya tentu saja agar umat alergi terhadap ajaran agamanya sendiri. Narasi radikal digambarkan sebagai sesuatu yang horor, menakutkan, dan keras. Semua upaya ini mengerucut pada satu hal, yakni menikam Islam dengan gambaran terburuk, bertujuan menghalangi penerapan syariat Islam di muka bumi.

Mereka ingin menghambat arus perubahan yang membangkitkan kesadaran pemikiran dan perasaan umat. Mereka tidak ingin dunia beralih kepada Islam yang mengakibatkan hegemoni kapitalisme akan tergusur.

Islam Menjamin Keamanan Tiap Warga
Dari uraian di atas, di bawah sistem demokrasi sekuler, keamanan para ulama tak terjamin. Padahal peran ulama begitu besar bagi umat ini. Ulama berperan dalam mendidik dan membina umat. Bila ulamanya baik, umat pun menjadi baik. Bila ulamanya buruk, umat juga ikut buruk. Merekalah para penuntun dan teladan bagi umat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Mereka senantiasa berpedoman dan berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah.
Dalam lintas sejarah, jaminan Islam terhadap umat manusia telah terbukti.

Islam menjamin hak individu untuk memeluk agama yang diyakini. Islam pun menjamin hak berbicara bagi setiap warga negara. Dalam Islam, negara berkewajiban menjaga dan melindungi rakyatnya, lebih-lebih kepada ulama. Sebab, ulama dimuliakan karena keilmuannya dan kedudukannya sebagai pelita yang menerangi umat.

Penjagaan itu terealisasi dalam perangkat sistem uqubat (sanksi) dalam Islam. Tegaknya sistem sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Zawâjir (pencegah) berarti dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan. Sanksi dalam Islam juga berfungsi sebagai jawâbir (penebus) dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia.

Dalam Islam, penerapan hukum Islam memiliki tujuan yang terintegrasi. Yakni, memelihara agama (hifdzud diin); memelihara jiwa (hifdzun nafs); memelihara keturunan (hifdzun nasl); memelihara harta (hifdzul maal); dan memelihara akal (hifdzul aql).

Tujuan ini dapat terterapkan tatkala sistem sanksi Islam dilaksanakan Khilafah yang menerapkan Islam secara kafah. Dengan begitu, jiwa dan muruah ulama serta warga negara terjaga. Hal itu hanya bisa terwujud dalam habitat yang tepat dan benar, yaitu dalam sistem Khilafah. Selamanya umat Islam tidak akan pernah aman dan tenang bila berada di habitat yang salah dan keliru seperti sistem demokrasi sekuler yang despotik. [MNews]

Ulama Diteror, Rasa Aman Kian Horor