Oleh: Reni Rosmawati
Ibu Rumah Tangga
Baru-baru ini, jagat tanah air digegerkan dengan dibebaskannya 23 narapidana kasus korupsi. Diketahui 23 narapidana ini dibebaskan bersyarat oleh Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) pada 6 September 2022 kemarin. Menteri Hukum Yasonna H Laoly, mengatakan pembebasan bersyarat ini sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang permasyarakatan. (Tempo.jakarta, 10/9/2022)
Sontak saja, hal ini mendapat sorotan tajam dari publik. Salah satunya dari Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Bonyamin Saiman. Masih dalam laman yang sama, Bonyamin mengatakan kecewa atas pemberian remisi kepada narapidana koruptor tersebut. Menurutnya, keputusan pembebasan bersyarat para napi koruptor ini akan menorehkan kesan pelonggaran pada kasus korupsi. Serta akan mendorong para pelaku korupsi untuk mengulang perbuatannya. Ia pun menegaskan bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Antara Pembebasan Napi Koruptor dan Pemilu 2024
Patut diduga, ada niat terselubung di balik dibebaskanbersyaratnya 23 koruptor. Pasalnya pembebasan ini dilakukan tanpa penjelasan cukup ke publik. Pemerintah hanya berdalih ini sesuai aturan. Di sisi lain pembebasan para koruptor tersebut dilakukan menjelang Pilkada 2024. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa dibebaskannya para koruptor ada kaitannya dengan Pilkada 2024. Sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018 para mantan napi koruptor masih mendapatkan kesempatan untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik pada Pemilu 2024 mendatang. (CNNindonesia.com, 24/8/2022)
Pembebasan Bersyarat Napi Koruptor, Langkah Tidak Tepat
Sungguh, dibebaskanbersyaratnya 23 napi koruptor sangat mencederai hati rakyat. Betapa tidak, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang korbannya adalah seluruh rakyat di negeri ini. Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi pun menjadi salah satu dampak yang diakibatkan dari korupsi. Namun kenapa para pelaku kejahatan luar biasa ini malah diberikan remisi penahanan dan dibebaskan bersyarat? Padahal jelas perbuatan yang dilakukannya sangat merugikan rakyat dan negeri ini.
Sejatinya, pembebasan bersyarat para napi koruptor adalah langkah yang tidak tepat. Sebab, akan membuat kesan pelonggaran hukuman bagi para koruptor. Sehingga akan mendorong siapa saja melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari. Namun sayang hal ini seolah tidak dipertimbangkan oleh pemerintah.
Korupsi Merajalela, Realita Sistem Demokrasi-kapitalisme
Inilah realita penerapan sistem Demokrasi-Kapitalisme-Sekuler di negeri ini. Sistem ini telah melahirkan para penguasa yang minim pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan. Sistem ini telah memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik. Dibebaskan 23 koruptor dan masih adanya kesempatan mereka mencalonkan diri dalam kontestasi politik, semakin menegaskan bahwa sistem Demokrasi sangat ramah terhadap koruptor.
Penerapan sistem Demokrasi-kapitalisme telah mendorong manusia menghalalkan segala cara agar dapat meraih keuntungan. Pasalnya sistem ini menganut paham materi adalah segalanya. Di lain sisi, sistem ini pun mengemban paham sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Inilah yang menjadikan manusia sangat rentan terjerumus ke dalam kejahatan (korupsi).
Selain itu, ongkos politik dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme pun demikian tinggi. Sehingga menjadikan para pemimpin yang terpilih kerap terpeleset melakukan penyelewengan kekuasaan. Karena mereka harus mengembalikan modal yang telah digelontorkan selama proses politik berlangsung. Alhasil praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pun kerap terjadi baik di pemerintahan daerah maupun pusat.
Hal ini diperparah dengan lemahnya hukum yang ada. Sistem hukum dan sanksi di alam Demokrasi bagi pelaku kejahatan tak terkecuali korupsi demikian lemah, tidak berefek jera. Sehingga, pelaku kejahatan termasuk korupsi terus ada. Seolah tidak ada habisnya.
Islam menindak Tegas Para Pelaku Korupsi
Tidak demikian dengan sistem Islam. Islam memandang korupsi sebagai perbuatan tercela dan dosa besar. Tersebab itulah Islam tidak akan mentolerir perbuatan korupsi. Islam akan memberikan hukuman tegas bagi pelaku korupsi dan menutup semua celah terjadinya korupsi.
Dulu pada masa kekhilafahan Islam, segala macam hal yang menjurus pada kejahatan (korupsi) dicegah sekuat tenaga. Sejak dini, negara Khilafah membina ketakwaan dan keimanan rakyatnya dengan menerapkan sistem pendidikan agama yang kuat. Sehingga rakyat menjadi pribadi yang taat pada syariat dan jauh dari hal yang berbau maksiat.
Negara Khilafah pun membudayakan amar ma’ruf nahi mungkar dan saling menasehati. Sehingga ketika kejahatan terjadi, akan segera bisa dicegah dan diatasi. Sebab, masyarakat tak segan saling menasehati. Selain itu, Khilafah pun memberi gaji yang cukup bagi seluruh rakyat yang bekerja di pemerintahan. Dengan begitu, maka peluang untuk melakukan korupsi akan tertutup rapat.
Jika terjadi kasus korupsi (meskipun kemungkinannya kecil), maka negara Khilafah akan menyuruh pelaku mengembalikan dana yang dikorupsinya tersebut. Khilafah pun tidak akan segan-segan memecat pejabat yang terbukti melakukan korupsi. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menginspeksi dan menyita kekayaan para pejabat yang bukan didapat dari gaji mereka. Tentunya, sanksi dan hukuman ini bisa bersifat sebagai pencegahan sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang lain. Sehingga tidak ada lagi celah lahirnya kejahatan serupa.
Sejarah mencatat, selama 13 abad negara Islam (Khilafah) berdiri, hanya tercatat 200 kasus kejahatan saja. Kejahatan dari beragam cabangnya. Ini menjadi bukti betapa negara yang menerapkan sistem Islam mampu melindungi dan menjaga umatnya dari segala kejahatan.
Tidak seperti sistem Demokrasi-kapitalisme yang berbiaya politik mahal, biaya politik dalam sistem Islam demikian murah bahkan bisa jadi tidak berbiaya. Hal ini karena setiap pemimpin baik wali (gubernur) atau amil (penguasa setingkat kabupaten/kota) dipilih langsung oleh Khalifah, bukan oleh rakyat. Meskipun demikian, rakyatlah yang menentukan keberlanjutan jabatan wali dan amil tersebut. Dengan mekanisme demikian maka dapat dipastikan tidak ada lagi biaya pilkada yang mahal. Sehingga tidak ada peluang bagi pemimpin yang terpilih melakukan penyelewengan kekuasaan.
Hal ini pun berlaku bagi pemilihan kepala negara (Khalifah). Dalam Islam, pemilihan kepala negara demikian murah dan tidak berbelit. Berdasarkan ijmak sahabat hanya 3 hari sampai proses baiat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para sahabat yang langsung mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq 3 hari sepeninggal Rasulullah saw..
Demikianlah betapa sempurnanya Islam dalam mengatur kehidupan dan menjaga umatnya dari berbagai bentuk tindak kejahatan. Karena itu, sudah sepantasnya kita kembali kepada Islam dan menerapkannya secara menyeluruh dalam seluruh sendi kehidupan. Kemudian membuang sistem Demokrasi-Kapitalisme-Sekuler biang segala kerusakan.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
More Stories
Pemberdayaan Ekonomi Jadi Siasat, Peran Ibu Tengah Dibajak
Membangun Infrastruktur Negeri tanpa Bergantung pada Investasi
Pernikahan Megah Anak Pejabat, di Tengah Kesusahan Rakyat