06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Tragedi Kanjuruhan, Preseden Buruk dalam Atmosfer Demokrasi

Oleh Uqie Nai

Member AMK4

Tragedi lapangan hijau kembali menelan korban. Kali ini terjadi di stadion Kanjuruhan Malang (1/10/2022) saat pertandingan antara  Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Tragedi ini pun menimbulkan duka mendalam bagi dunia pesepakbolaan Indonesia dan kekecewaan masyarakat atas minimnya keamanan. Ratusan Aremania dinyatakan meninggal dunia dan lainnya mengalami luka-luka akibat peristiwa ini.

Sebelum kericuhan terjadi, puluhan Aremania turun ke tengah lapangan karena ingin memberikan dukungan, ingin mengabadikan momen, ada juga sebagai bentuk protes atas kekalahan tim jagoannya. Salah satunya adalah Muhammad Riandi Cahyono yang juga menjadi  korban. Riandi mengatakan bahwa dirinya dan para suporter Aremania yang masuk lapangan mendapat perlakuan tidak manusiawi. Ada yang dipukul oleh petugas ada juga yang terkena tembakan gas air mata. Menurutnya, gas air mata yang ditembakkan tak hanya di area stadion, tapi juga di luar stadion. Akibatnya, banyak suporter sesak napas hingga jatuh kesakitan dan terinjak-injak. (Republika.co.id, Ahad, 2/10/2022)

Menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Polri Irjen Dedi Prasetyo, total korban dalam tragedi Kanjuruhan pada Jumat (7/10/2022) pukul 15.30 WIB mencapai 678 orang. Jumlah ini terdiri dari korban meninggal 131 orang dan korban luka sebanyak 547 orang. (Kompas.com, 7/10/2022)

Bukan Sekadar Salah Penanganan, tapi  Salah Penerapan Sistem

Tragedi Kanjuruhan diketahui menjadi tragedi terbesar kedua sepanjang sejarah olahraga di stadion. Data yang tercatat Kementerian PPPA, dari jumlah korban meninggal, sekitar 33 di antaranya merupakan anak-anak berusia 4-17 tahun. Sejumlah saksi menyebutkan bahwa korban jiwa diakibatkan oleh tembakan gas air mata yang dilontarkan polisi ke tribune penonton. Hal ini membuat para suporter lari tunggang-langgang mencari selamat, bahkan tak sedikit dari mereka mengalami sesak napas, terjatuh dan terinjak saat berdesakan di pintu keluar stadion yang tak semuanya terbuka.

Peristiwa ini tentu mengecewakan banyak pihak dan membawa duka mendalam bagi keluarga korban. Bukan hanya pihak penyelenggara dan aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas hal ini tapi sistem yang berlaku yang diterapkan negara.

Dalam event apapun, mestinya negara memiliki standar operasional (SOP) dan mekanisme keamanan yang jelas dan tegas, baik dari penyelenggara atau aparat. Mereka akan bertindak sesuai tahapan prosedur dan faktor-faktor yang bisa mendatangkan kerugian dan jatuhnya korban akan diminimalisir atau bahkan diupayakan tidak terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. SOP pun tak ada gunanya jika nyawa manusia dipandang rendah.  Akhirnya, Stadion Kanjuruhan menjadi saksi ‘perang arogansi’ aparat terhadap penonton. Siapa yang harus diamankan, dan siapa yang harus ditindak, aparat justru mencari aman sendiri dengan membabi buta mengarahkan gas air mata ke dalam stadion dan luar stadion.

Wajar kiranya jika banyak pihak menuntut pemerintah membentuk tim independen agar pelaku utama insiden Kanjuruhan terungkap. Tuntutan ini merupakan bentuk ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat yang makin menurun, bukan karena peristiwa Kanjuruhan saja tapi juga peristiwa sebelumnya tentang demonstrasi massa, Aksi 212, penangkapan ulama, dan teranyar  kasus Ferdy Sambo.

Arogansi aparat yang menyebabkan runtuhnya rasa aman tidak serta merta muncul dalam satu peristiwa, melainkan terstruktur dalam bingkai sistem. Pemerintah dan institusinyalah yang layak dimintai pertanggungjawaban.  Pemerintah tak bisa menyalahkan aparat begitu saja lalu mencopot Kapolres Malang misalnya, tapi harus introspeksi terhadap kebijakan yang dibuatnya secara sistem. Yakni sistem demokrasi kapitalisme yang menjadi kemudi lahirnya individu anarkis dalam lingkup kelompok maupun institusi.

Demokrasi kapitalisme adalah ideologi kufur berbasis akal dan hawa nafsu manusia. Kelemahannya sebagai ideologi akan menyingkirkan peran pemimpin sebagai pengurus dan penjaga umat. Selanjutnya akan menghapus  bermacam hak publik semisal sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hak yang seharusnya didapatkan rakyat secara mudah justru dikapitalisasi oleh pihak tertentu yang mendapat legalitas negara. Sementara rakyat, harus menebusnya dengan sejumlah harga bahkan nyawa. Maka tak heran jika olah raga yang sifatnya permainan dan pertandingan, mampu menghimpun kapitalis dalam lingkup nasional dan internasional seperti PBB, berkolaborasi terselenggaranya event unfaedah. Padahal kebahayaannya jelas, memupuk fanatisme buta yang berakhir pada permusuhan, anarkis yang berujung kematian, hingga hancurnya persatuan dan kesatuan.

Sistem Islam Solusi Penjagaan Hakiki

Hadirnya pemimpin yang berkarakter pengurus (raa’in) dan penjaga (junnah) hanya akan terwujud dalam sistem yang berlandaskan akidah Islam. Yaitu sistem yang mengharuskan manusia tunduk pada Zat Maha Sempurna, Allah Swt. agar maqashid asy-Syariah (maksud-maksud syarak) berbuah pada kemaslahatan dan keamanan. Rasulullah saw. telah bersabda:

“Imam (pemimpin) itu adalah raa’in. Ia bertanggung jawab tentang kepengurusannya (rakyat).” (HR. Bukhari)

Dengan prinsip pelayananan sebagaimana hadis tersebut, maka negara (penguasa) bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya, apakah membawa maslahat atau madarat, termasuk mewaspadai penyelenggaraan yang sifatnya mubah  seperti sepak bola tapi bisa mengantarkan pada kesia-siaan yang terorganisir (lahwun munadhamun) dan fanatisme (ashabiyah).

Imam Asy-Syathibi menuturkan: “Hiburan, permainan, dan bersantai adalah mubah selama tidak ada sesuatu yang terlarang.”

Untuk itu negara wajib menjaga aktivitas umat dari perbuatan yang bisa memalingkan dari kewajiban dan kebenaran. Sebab, dunia hanyalah senda gurau, kehidupan sesungguhnya adalah akhirat. Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya:

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kalian mengerti?” (TQS. Al-An’am: 32)

Begitu pun halnya dengan kegiatan yang diharamkan Allah dan rasul-Nya, negara berkewajiban meluruskan dan membina masyarakat dari cinta kesukuan/kelompok secara membabi buta (ashabiyah) dengan pengokohan akidah dan ukhuwah islamiah. Rasulullah saw. telah memberikan ancaman tegas pelaku ashabiyah:

“Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ‘ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ‘ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud no. 4456)

Inilah peran sejati negara yang dibutuhkan umat Islam di tengah gempuran demokrasi kapitalis yang menyimpangkan akidah, sosial, dan ukhuwah islamiah antar individu, masyarakat, dan negara. Maka sebuah keniscayaan kenyamanan umat akan terwujud nyata jika peran negara bersama institusi Islam kaffah ada, dan ini harus diperjuangkan melalui dakwah li istinafi al-hayah al-Islam, bukan sekadar rindu dan menunggu. Wallahu a’lam bi ash Shawwab.