06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Awan Gelap Resesi Global Membayang, Pemerintah Malah Royal dalam Pengeluaran?

Oleh Ummu Alifah

Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK

Banyak hal yang tidak mampu dinalar terjadi di negeri ini. Di saat badai ekonomi negara bahkan dunia sudah di pelupuk mata, justru pengeluaran jor-joran diusulkan bukan untuk persoalan yang terpenting dan genting.

Sebagaimana disampaikan oleh tiga orang penting di negara ini, Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mereka sepakat bahwa tahun depan perekonomian berada pada kondisi gulita. Bahkan Presiden sendiri mengibaratkan betapa awan gelap tengah menggayuti dunia, bahkan badai dahsyat siap menghadang di hadapan. (CNBC Indonesia, 30/9/2022)

Tak habis pikir, dalam kondisi teramat buruk itu dari pihak pemerintah baru-baru ini justru muncul usulan yang kontradiktif. Melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, mengusulkan bantuan untuk dana partai politik (parpol) agar dinaikkan hingga 300 persen.

Hal itu tentu memunculkan banyak tanya. Salah satunya datang dari pejabat mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay. Blak-blakan ia mengatakan bahwa kenaikan dana bantuan parpol ketika badai krisis membayangi tentu tidaklah tepat. Selain negara sedang dibayangi krisis ekonomi, efek domino dari kebijakan kenaikan harga BBM pun menyisakan kesengsaraan di kalangan masyarakat luas. Dalam kondisi tersebut tak semestinya penggelontoran dana diarahkan pada urusan yang bukan prioritas. Urusan yang tidak bersinggungan langsung dengan rakyat. (republika.co.id, 22/9/2022)

Tidak Konsisten, Abai dan Pilih Kasih

Apa yang terjadi dapat dibaca dalam tiga kondisi. Pertama, betapa tidak konsistennya pemerintah. Di banyak kesempatan pemerintah kerap mengulang narasi bahwa ancaman resesi terburuk tengah membayang di hadapan. Namun di lain kesempatan justru royal dalam pengeluaran.

Keduanya, hal ini pun memperjelas betapa abainya negara pada kesulitan dan kesengsaraan yang dijalani rakyat. Sebelum kondisi resesi global yang sudah pasti berdampak pada resesi nasional pun rakyat sudah megap-megap menghadapi kondisi sulit. Hal itu akibat dari diberlakukannya banyak kebijakan yang sangat tidak pro rakyat. Bisa dibayangkan kengerian berkali lipat telah menunggu di depan mata, jika badai dahsyat yang dimaksud Presiden benar-benar terjadi. Bukannya mengikat tali pinggang untuk menge-skip pengeluaran-pengeluaran yang tidak langsung berhubungan dengan pengurusan rakyat, justru menghendaki kondisi sebaiknya. Istilah apa yang bisa mewakili suasana tersebut jika bukan “abai”?

Ketiganya, negara sungguh dirasa pilih kasih. Anggaran untuk persoalan-persoalan yang berhubungan dengan rakyat luas secara langsung justru dipangkas. Semua tentu ingat betapa rakyat menjerit karena kebutuhan sehari-hari semakin mahal dan sulit dibeli. Dengan teganya pemerintah malah menyunat satu demi satu dana subsidi. Dikatakan pula narasi-narasi yang sangat menyakitkan, seperti subsidi itu sangat membebani APBN atau rakyat wajib mandiri dalam mengakses kebutuhannya, dan seterusnya. Namun untuk kepentingan segelintir kalangan yang berada dalam partai politik justru dispesialkan. Parpol akan diberi dana lebih dari yang sebelumnya sudah diberlakukan. Bukankah ini pilih kasih?

Jangan salahkan jika muncul pemikiran bahwa sangat pedulinya rezim pada parpol dibanding rakyat seluruhnya dikarenakan parpol-lah yang akan menjadi kendaraan politik mereka meraih kursi. Itu sebabnya sarana apapun yang dibutuhkan parpol akan didukung secara full. Tak peduli jika pun harus berlaku tak konsisten, abai pada rakyat, hingga mesti menganak-emaskan partai dibanding rakyat seluruhnya.

Paradoks Kapitalisme Demokrasi Sekuler

Demikianlah paradoks sistem Kapitalisme Demokrasi sekuler yang dianut Indonesia dan banyak negara lain di dunia. Dalam sistem Kapitalisme, krisis ekonomi suatu negara adalah sebuah siklus alami yang akan selalu terjadi dalam rentang waktu tertentu. Baik krisis itu terjadi di negara-negara berkembang maupun adidaya global. Ibarat badai yang biasa diawali munculnya gulita dari awan gelap, krisis ekonomi suatu negara pun kerap didahului dengan terjadinya krisis keuangan berbasis non-riil. Laporan World Bank pada Juni 2022 dalam “Global Economic Prospects” menggambarkan betapa telah terjadi krisis keuangan 417 kali di negara berkembang selama kurun waktu dari tahun 1970 sampai kini (Al-Waie, Edisi September 2022). Kian menyedihkan ketika krisis yang menghantam negara adidaya akan menyeret negara-negara berkembang turut dalam pusaran badai krisis pula.

Penderitaan yang membersamai krisis ekonomi negara penganut Kapitalisme akan dirasakan oleh semua kalangan, dan tentunya rakyat kecillah yang terdampak paling dahsyat. Ini yang pertama.

Kedua, betapa mirisnya apa yang terjadi dalam sistem pemerintahan Demokrasi. Faktanya betapa kontestasi meraih kursi jabatan itu sangat mahal harganya. Di saat kontestasi dilakukan melalui kendaraan partai dan memakan biaya fantastis maka tentu adalah sebuah keniscayaan pihak penguasa akan melakukan upaya untuk memberi dukungan terbaik bagi berjalannya parpol melakukan “tugasnya” menjalankan roda kendaraan. Maka menaikkan dana parpol dalam gulita badai krisis pun tetap akan dipilih sebagai konsekuensi dari diambilnya sistem ekonomi Kapitalisme.

Ketiga, asas sekuler yang dianut menjauhkan tata aturan agama dari kehidupan. Urusan agama hanya diambil untuk persoalan ritualitas semata. Itupun semakin dipersempit dengan hanya dipersilakan dianut secara pribadi, tanpa negara turut campur dalam penerapannya. Adapun urusan kehidupan, berpolitik hingga bernegara, agama disisihkan. Dosa pahala sudah tak lagi menjadi timbangan dalam melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Baik buruk tak disandarkan pada aturan Allah Yang Maha Pencipta. Nafsu keserakahan pun bertahta dalam benak pejabat dan penguasa. Kebijakan-kebijakan minim empati dan tak memihak pada rakyat pada akhirnya dibuat, diusulkan, lantas diberlakukan. Tak peduli jika itu melukai hati rakyat banyak. Masa bodoh meski hal tersebut mengiris rasa keadilan di tengah masyarakat.

Islam, Sistem Kehidupan Terbaik

Paradoks di atas akan senantiasa ada di tengah kehidupan bernegara selama sistem Kapitalisme Demokrasi sekuler diberlakukan di negara ini. Tidak demikian jika sistem yang diberlakukan Islam. Sistem kehidupan yang berasaskan akidah Islam dan bersumber dari wahyu Sang Penguasa semesta, manusia, dan kehidupan.

Islam mengajarkan bahwa seluruh aktivitas kehidupan wajib terikat dengan hukum syara’ yang lima (al-ahkam al-khamsah), yakni wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Jika wajib maka tak boleh ditinggalkan. Ketika sunah lebih baik diselenggarakan. Di saat haram tentu harus dijauhi. Adapun makruh maka sebaiknya dihindari. Sementara ranah mubah menjadi pilihan manusia untuk melakukan atau tidak, mengambil maupun tidak. Hal ini akan menjadi timbangan sebuah persoalan akan disolusikan seperti apa, atau sebuah kebijakan diambil atau tidak. Semuanya akan memastikan kemaslahatan dan kebaikan teraih dengan sempurna. Dikarenakan ia bersumber dari kalam Sang Pencipta yang Mahatahu hakikat kebaikan dan keburukan bagi setiap makhluk.

Islam mewajibkan kepada para pemimpin untuk mengurusi semua urusan rakyat sesuai dengan aturan syariat, termasuk persoalan kesejahteraan dan keadilan rakyat seluruhnya. Dalam urusan ekonomi, pemimpin di dalam Islam (Khalifah) akan memastikan terkait pemasukan dan pengeluaran keuangan hanya dilakukan sesuai dengan prinsip al-ahkamul khamsah. Urusan rakyat banyak akan menjadi prioritas. Kebutuhan akan pangan, sandang, dan tempat tinggal mejadi prioritas untuk dipenuhi. Sarana prasarana kesehatan, pendidikan dan kemanan disediakan dan diselenggarakan negara agar dapat dinikmati secara gratis oleh semua kalangan rakyat.

Negara dalam sistem Islam akan memberlakukan sistem ekonomi Islam (SEI) yang diberlakukan secara komprehensif yang dimulai dari penataan kepemilikan harta. Terdapat tiga kepemilikan, yakni harta individu (al-milkiyah fardhiyah), harta umum (al-milkiyah ‘aamah), dan harta negara (al-milkiyah daulah). Penataan kepemilikan tersebut akan memastikan tidak akan ada ketimpangan ekonomi sebagaimana kisah miris yang lazim didapati di suasana kapitalistik.

SEI memiliki dua prinsip utama yang terbukti tahan terhadap guncangan krisis keuangan dan ekonomi ketika dijalankan dengan sempurna. Pertama ekonomi bertumpu pada sektor riil dan nonribawi. Kedua, penggunaan mata uang dinar dirham yang berbasis emas dan perak.

Pemberlakuan SEI bersamaan dengan pelaksanaan syariat Islam lainnya secara sistemik terbukti mampu menjadikan negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) mampu menyejahterakan rakyat secara berkeadilan berabad lamanya. Tidak akan ditemukan istilah krisis ekonomi berupa resesi, inflasi dan sejenisnya, terlebih berulang dan menjadi siklus yang biasa terjadi dalam sistem Kapitalisme.   

Ketika pun negara berada pada kondisi sulit, semisal di saat masa paceklik atau wabah penyakit melanda, Khalifah akan mengajak semua lapisan warga melakukan langkah penghematan pengeluaran. Hal itu bukan hanya diberlakukan bagi warga saja, namun akan lebih dahulu dilakukan oleh penguasa dan keluarganya sebagai teladan. Sejarah mencatat di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi masa paceklik, beliau sudah menghentikan mengonsumsi daging dan samin (mentega lemak hewani) yang enak dan mahal harganya. Hal itu dilakukan semata demi merasakan kesulitan yang ditanggung umat. Itu dari sisi pribadi.

Dari sisi kebijakan pun Khalifah akan melakukan upaya penghematan agar pengeluaran hanya untuk urusan yang diwajibkan syariat dan bersifat penting, genting dan menyangkut rakyat luas. Penggelontoran dana parpol yang besarannya terus dinaikkan meski dalam suasana krisis tak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam. Itu dikarenakan peran parpol dalam pandangan Islam adalah dalam rangka edukasi umat terkait syariat, dan memberi masukan terhadap perjalanan bernegara oleh para penguasa (muhasabah li al-hukkam). Kedua peran ini tidak membutuhkan kucuran dana fantastis sebagaimana peran parpol dalam sistem Demokrasi sebagai kendaraan politik bagi penguasa. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.