06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Penistaan Terhadap Islam Terus Berulang, Penjagaan Negara Menghilang

Oleh Ine Wulansari

Pendidik Generasi

Penistaan terhadap Islam kembali terjadi. Baru-baru ini, beredar disalah satu media sosial cuitan Eko Kunthadhi yang mengolok-olok ceramah Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra atau Ning Imaz.

Bukan hanya melecehkan Islam, namun Eko pun dinilai telah melecehkan Ning Imaz selaku penyampai ceramah. Menurut Chandra Purna Irawan sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat menyebutkan, pelaku berpotensi melanggar sejumlah pasal dalam kasus ini. Yakni melecehkan salah satu ayat Al-Qur’an. Maka hal itu dianggap sebagai penodaan agama.

Sebagaimana yang disampaikan MUI (Majelis Ulama Indonesia), kriteria dan batasan tindakan yang terkategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam adalah perbuatan menghina, menghujat, melecehkan, dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan Allah Swt., Nabi Muhammad saw., kitab suci Al-Qur’an, dan ibadah mahdah. Tentu perbuatan Eko diduga melanggar ketentuan pasal 156a KUHP, dan pasal 310 KUHP terkait menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal. (REPUBLIKA.co.id, 17 September 2022)

Apa yang telah diperbuat Eko Kuntadhi, menjadi sinyal dan berpotensi melecehkan tafsir Alquran. Artinya, sama saja dengan melecehkan Alquran. Karena pendapat Ning Imaz ini, sepaham dengan pandangan Imam Ibnu Katsir (701-774 H). Perbuatan Eko sungguh telah melakukan penodaan agama. Sebab, terkategori menghina dan merendahkan Ning Imaz yang mempunyai wewenang untuk menjelaskan tafsir Alquran berdasarkan keilmuan yang dimiliki.

Sebenarnya ini bukanlah kasus pertama yang terjadi, sebelumnya telah banyak kasus penistaan terhadap Islam yang dilakukan. Seperti tindakan Hollywings yang secara jelas menistakan Islam dengan melecehkan Nabi Muhammad saw. yang menyandingkannya dengan khamar. Begitu juga dengan Ahok,  lantangnya menyatakan orang-orang Indonesia tidak boleh dibohongi dengan surat Al-Maidah ayat 51, supaya tidak memilih pemimpin nonmuslim. Juga kasus-kasus penistaan lainnya yang membuat hati umat Islam tersakiti.

Ketika hal ini berulang, dan umat Islam pun merespon dengan keras, para pelaku penistaan baru mengaku khilaf dan mengatakan tidak sengaja. Padahal, perbuatan apapun tidak akan terjadi tanpa adanya niat dan tujuan. Bukan tidak mungkin pula aktivitas tersebut dilakukan tanpa rancangan dan rencana yang matang. Apakah tujuannya untuk mempromosikan produk tertentu, demi menggaet pelanggan, atau agar viral, dan lain sebagainya yang ujungnya banyak melakukan pelanggaran hukum.

Mirisnya, ketika umat Islam menanggapi, meski aksi damai sekalipun. Justru yang terjadi mereka dituding radikal, seakan indentik dengan kekerasan dan terorisme. Padahal, umat Islam hanya menginginkan para pelaku penistaan ini mendapat hukuman yang setimpal. Namun yang ada, justru umat Islam dipaksa menjadi moderat dengan cara diam membisu di saat agamanya dihina. Di sisi lain, gencarnya  penistaan, pelecehan terhadap Islam dan ajarannya, tak kunjung reda. Sebab tak ada sanksi tegas bagi pelaku tindak pidana tersebut, sehingga tidak ada efek jera. Ketika maaf sudah terucap, jalan damai terbuka lebar. Akhirnya kasus terus berulang.

Terkadang respon umat Islam dianggap berlebihan. Padahal mereka ingin menolong agama Allah, tidak hanya diam ketika agamanya dinista. Sayangnya, ketaatan mereka kepada perintah Allah, justru berbuah pahit. Tidak sedikit di antara umat Islam yang malah diberi gelar radikal, garis keras, dan narasi negatif lainnya. Seorang ulama seperti Buya Yahya telah mengingatkan pada kita “Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.”

Inilah buah kebebasan saat ini, menistakan agama seolah menjadi hal yang biasa. Bahkan dianggap sesuatu yang keren, karena mencerminkan kebebasan berpendapat. Paradigma berpikir tersebut adalah hasil penerapan sistem Kapitalisme Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Ditambah sistem demokrasi yang mengaruskan moderasi yang berkedok kebebasan HAM (Hak Asasi Manusia). Demi kapital, agama pun rela dijual.

Selain itu, sebagai akibat diterapkan aturan hidup yang rusak yakni Kapitalisme Sekuler, menjadikan negara kehilangan perannya sebagai payung pelindung umat. Sekalipun penistaan berulang dan pelakunya silih berganti, mereka tidak takut, sebab tidak ada tindakan tegas dari pihak berwenang.

Atas nama kebebasan berpendapat, penistaan agama dibiarkan. Lemahnya penguasa, sampai rakyat harus melakukan aksi protes meminta agar pelaku penistaan ditindak tegas. Inilah gambaran penguasa yang tidak layak dijadikan pemimpin umat. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.” (TQS Al-Maidah: 57). Tidak adanya ketegasan dari penguasa terhadap pelaku penistaan agama, disebabkan karena paham kebebasan yang dianut. Serta negara dalam sistem Kapitalisme Sekuler ini kehilangan fungsinya untuk menjaga akidah umat.

Islam sebagai agama dan ideologi kehidupan, akan menjaga dan mengatur manusia, alam semesta, dan kehidupan agar berjalan sesuai dengan perintah Allah Swt.. Dalam Islam, hukuman bagi penista agama dikategorikan murtad dan kafir. Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj berkata, perbuatan yang mengafirkan adalah tindakan yang menghina agama secara langsung, seperti melempar mushaf ke dalam kotoran ataupun patung matahari.

Dalam Islam, hukuman bagi penista agama adalah dengan membunuhnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi masyarakat. Oleh karenanya, negara wajib hadir untuk melindungi agama. Sebab, hanya negara yang menerapkan syariat Islam yang akan memutus rantai penistaan agama.

Sebagaimana saat Daulah Utsmaniyyah berkuasa, saat itu Sultan Hamid II menindak tegas penista agama bernama Henri de Bornie yang membuat drama berisi penghinaan kepada Nabi Muhammad saw.. Daulah Islam juga melakukan bimbingan untuk menguatkan akidah umat, memberikan pemahaman Islam yang kafah kepada generasi, serta menangkal ide Sekulerisme Liberalisme yang menganggungkan kebebasan dan merusak akidah umat.

Dengan demikian, ketika negara hadir menjadi payung dan pengayom umat dan menerapkan sanksi tegas bagi pelaku penistaan agama, maka hal serupa tidak akan terulang. Tentu semua ini akan terwujud, ketika negara menerapkan Islam secara total di segala aspek kehidupan. Umat pun akan hidup rukun dan tenteram karena ada dalam naungan Daulah Islam yang terbukti melindungi umat dan seluruh alam.

Berbeda dengan saat ini, sangat sulit berharap penguasa dapat bertindak tegas. Dalam sistem Kapitalisme, negara lemah tak berdaya. Sebab, segala aturan dan kebijakan telah dibuat berdasarkan kepentingan pihak tertentu. Sehingga penjagaan dan perlindungan bagi rakyat sangat tak mudah didapat. Terlebih penjagaan terhadap agama. Maka dari itu, sudah saatnya umat menyadari bahwa sistem Kapitalisme hanya akan membawa kerusakan dan kehancuran.

Wallahua’lam bish shawab.