07/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Pahami Agamamu, Bangga Ber-Islam Kaffah

Oleh: Uqie Nai
(Alumnus Branding for Writer)

Ketenangan warga dumay terusik dengan munculnya Wedding Organizer (WO) bernama Aisha Weddings yang sontak memunculkan beragam komentar negatif. Pasalnya ajakan serta pernyataan dari website tersebut tentang poligami, nikah siri dan pernikahan usia muda (12-21) dianggap bertentangan dengan undang-undang di Indonesia. Di antara kegusaran warganet akibat apa yang tertulis berikut ini:

“Semua wanita muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih,” tulis Aisha Weddings dalam situsnya, Rabu (10/2).

Ramainya komentar negatif netizen atas situs tersebut mengusik Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto. Menurutnya KPAI akan mengambil langkah-langkah setelah mengumpulkan data yang diperlukan.

Langkah pertama yang diambil KPAI adalah dengan meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) untuk memblokir situs WO Aisha. Langkah berikutnya Susanto meminta Mabes Polri mengusut tuntas keberadaan WO Aisha untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum. Kabarnya, hingga kini kepolisian masih menelusuri jejak digital WO tersebut untuk mengumpulkan bukti. (Kompas.com., Rabu, 10/02/2021).

Provokasi Syariat, Membiarkan Maksiat

Meski kebenaran situs Aisha wedding masih ditelusuri sebagai pribadi atau lembaga, KPAI menuding situs tersebut telah melanggar UU No.16/ 2019 tentang Perkawinan terkait Batas Usia Nikah dan UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Namun tak sedikit yang berasumsi bahwa situs itu adalah rekayasa dari oknum tidak bertanggung jawab untuk mendiskreditkan agama tertentu agar terjadi kekacauan.

Terlepas situs tersebut nyata atau fiktif, bisa dijerat pidana atau tidak, setidaknya tanggapan atas tulisan Aisha wedding di websitenya telah membuka mata tentang pertentangan syariat dan undang-undang yang berlaku. Masyarakat Indonesia dengan muslim mayoritasnya ternyata belum paham dengan ajarannya. Mereka ramai mengecam, memvonis sebagai pelanggaran tapi mendiamkan tindak asusila di negeri ini.

Jika pun benar situs itu mempromosikan dan memberikan perencanaan bagi siapapun yang ingin berpoligami, nikah siri, tanpa harus ribet dan bingung dengan batas usia dan beragam promosi lainnya, tindakan ini tidak serta merta dinyatakan sebagai kasus pidana, terlebih lagi jika munculnya promosi tersebut karena syariat menghalalkan, menghindari perzinaan serta memutus kemaksiatan. Lalu, mengapa dikecam?

Jika menikah di usia muda (12-21) itu membahayakan masa depan anak, ketidaksiapan mental, merusak alat reproduksi, rentan terjadi kekerasan seksual, perceraian, lalu bagaimana dengan kasus seks bebas, prostitusi online dengan pelakunya rata-rata usia sekolah, perselingkuhan yang dilakukan suami atau isteri bahkan perceraian dari pasangan dewasa, bukankah itu marak terjadi?

Menyikapi setiap kasus yang terjadi haruslah komprehensif. Tidak seharusnya mengeneralisasi masalah dengan mudah bahkan membuat kesimpulan yang prematur dan hanya didasarkan pada asumsi seperti komentar sinis terhadap nikah dini. Selain itu, tampak adanya standar ganda dalam menyikapi banyak persoalan. Sebut saja kasus prostitusi online usia remaja yang semakin memprihatinkan, sementara respon para pegiat kesehatan reproduksi (kespro) atau lembaga perlindungan anak tak setegas kasus di atas. Sekalipun ada tindakan aparat, pelaku dan korban prostitusi tidak dipidana kecuali jika sengaja menyebarkan aktivitas asusilanya ke tengah publik. Ancamannya pun tak membuat pelakunya malu atau jera.

Itulah gambaran singkat bagaimana peraturan yang berlaku di negeri ini bersifat parsial, tidak tuntas menyelesaikan masalah. Anehnya, malah syariat Islam yang disudutkan. Semua itu tak bisa lagi dipungkiri sebagai buah dijauhkannya ajaran agama dari kehidupan masyarakat (sekuleristik). Agama yang harusnya jadi rem atas tindak kemaksiatan tergeser oleh paham kebebasan yang berasal dari barat. Liberalisasi masuk dalam undang-undang seperti UU Kespro, UU PKDRT, bahkan HAM dan kesetaraan gender menjiwai berbagai program pembangunan, lalu masuk pula melalui budaya semacam LG3T, koreanwave, tik tok dan perilaku hedonis lainnya.

Pahami Islam, Ikuti Syariatnya

Bagi kaum mukmin nikah adalah salah satu aktivitas ibadah, ia bagian dari ajaran Islam sebagai sunnah Rasulullah saw. Siapa saja yang membencinya atau mengingkarinya maka ia tidak termasuk umat Nabi saw. Sebagaimana sabda beliau:

“Menikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka ia bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian karena aku bangga dengan banyaknya umatku.” (HR. Ibnu Majah no 1846, disahihkan oleh imam Albani)

Rasulullah pun memberikan nasehat kepada para pemuda agar menikah jika sudah memiliki al-Ba’ah (mampu memikul beban dan tanggung jawab).

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, maka menikahlah. Sebab pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (HR. Muttafaq ‘alayhi)

Apa yang disabdakan baginda Rasulullah dalam hadis di atas menunjukkan bahwa siapapun bisa menikah dengan syarat sudah mampu menanggung beban (al-ba’ah) bukan batas usia. Al -ba’ah di sini juga bisa bermakna kesiapan secara mental, ekonomi dan tanggung jawab nafkah.

Islam dan syariatnya telah memberikan pembatasan hubungan seksual antara pria dan wanita hanya dalam hubungan perkawinan. Hubungan bisa dimulai pada usia yang relatif muda, asalkan syarat yang dimaksud syara’ terpenuhi sebagaimana hadis di atas.

Islam juga memerintahkan kepada pria dan wanita jika dalam kondisi tertentu belum memungkinkan untuk menikah, agar mereka memiliki sifat iffah (menjaga kehormatan dan mampu mengendalikan diri). Firman Allah Swt. dalam QS. An-Nur : 33,

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya……”

Salah satu arahan Islam menjaga kesucian diri dari gejolak syahwat adalah dengan berpuasa. Puasa itulah yang akan menjadi benteng tercegahnya interaksi pria dan wanita pada keharaman semisal perzinaan (lihat QS. Al -Isra :32).

Selain perintah berpuasa, Islam juga memiliki aturan untuk para wanita memiliki kesopanan dan memakai pakaian sempurna saat keluar rumah. Bahkan sikap preventif Islam tercemin pula dalam larangan untuk khalwat (berdua-duaan) dan ikhtilat (campur baur) antara pria dan wanita yang bukan mahram.

Maka jika hari ini masyarakat dihadapkan pada fenomena kemaksiatan merajalela, penyebabnya karena Islam tidak dipahami secara menyeluruh (kaffah). Sementara sistem yang berlaku pun bukan sistem Islam, sehingga kemaksiatan yang dipayungi HAM menjadi hal yang lumrah. Bertebarannya konten pornografi pun menjadi penyebab kecenderungan seksual lebih dominan dibanding kesiapan fisik dan mental. Alhasil, kerusakan moral dibiarkan, ketaatan pada syariat dikecam. Astaghfirullah.

Untuk mengembalikan pemahaman umat Islam secara utuh terhadap agamanya, tidak terpengaruh budaya dan pemahaman dari luar Islam, maka tak ada cara lain selain mengkaji Islam dari sumber-sumber yang terpercaya yaitu kitab-kitab para ulama shalafus shalih. Pada akhirnya umat Islam akan cerdas memahami agamanya, dan bangga ber-islam kaffah.

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.