07/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Mendamba Transportasi Aman dan Murah

Oleh: Chusnatul Jannah

Ada harga, ada rupa. Mau nyaman, aman, dan menyenangkan, harus merogoh kocek lebih dalam. Prinsip itu lumrah beredar di sistem serba materi. Ukuran kualitas harus dilihat dari nominal rupiah yang dikeluarkan. Demi berlomba menjadi yang paling laris manis, biasanya perusahaan akan menawarkan sesuatu yang murah dan dapat dijangkau mayoritas masyarakat.

Prinsip ini juga berlaku bagi dunia industri penerbangan. Di antara maskapai terpopuler yang masuk tiga besar di Indonesia adalah Sriwijaya Air. Masuknya Sriwijaya Air sebagai maskapai terbesar di Indonesia bukan tanpa alasan. Hal ini karena strateginya yang tak biasa, yaitu menerbangkan pesawat tua yang murah dan lebih memilih rute-rute penerbangan yang banyak diabaikan para pesaing.

Maskapai ini menjadi sorotan publik pasca pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu tak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pontianak.

Pesawat hilang kontak pukul 14.40 WIB di ketinggian 11 ribu kaki saat naik menuju 13 ribu kaki, 4 menit setelah lepas landas dan dinyatakan jatuh di antara Pulau Laki dan Lancang. Menurut data situs aviasi Flightradar24, pesawat dengan nomor registrasi PK-CLC (MSN 27323) memiliki riwayat berumur 26 tahun. (Kumparan, 10/1/2021)

Pesawat Jatuh, Salah Siapa?

Kecelakaan memang takdir. Tapi penyebabnya tentu harus diketahui agar menjadi pelajaran berharga dan perbaikan di masa mendatang. Kecelakaan yang menimpa Sriwijaya Air menambah daftar panjang buruknya sistem penerbangan di Indonesia.

Sejak 1946 Indonesia menjadi salah satu negara dengan rekor kecelakaan penerbangan sipil terburuk di Asia. Jatuhnya Sriwijaya Air menjadi kecelakaan terbesar ketiga dalam enam tahun terakhir.

Dilansir dari Rmol.id (11/1/2021), Dua kecelakaan penerbangan besar sebelumnya adalah kecelakaan Boeing 737 MAX milik Lion Air di bulan Oktober 2018, dan kecelakaan Airbus A320 yang dioperasikan AirAsia Indonesia pada Desember 2014.

Sebelum kecelakaan SJ 182 yang menewaskan 62 awak dan penumpang itu, Reuters mencatat, dalam satu dekade terakhir sebanyak 697 orang tewas dalam kecelakaan penerbangan di Indonesia, baik penerbangan sipil maupun militer.

Tentu hal ini menjadi catatan besar bagi sistem penerbangan di Indonesia. Salah satu poin yang menjadi perbincangan publik adalah mengenai batas usia pesawat laik terbang. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 155 Tahun 2016 Tentang Batasan Usia Pesawat Udara, pasal 3 menyebutkan bahwa pesawat terbang kategori transportasi untuk angkutan udara penumpang yang didaftarkan dan dioperasikan untuk pertama kali di wilayah Republik Indonesia, paling tinggi berusia 15 tahun.

Namun aturan tersebut dicabut Menteri Budi Karya Sumadi melalui Permenhub No.27 Tahun 2020. Dengan aturan ini, batas usia pada pesawat terbang tidak berlaku lagi. Artinya, tidak ada larangan batas usia pesawat diterbangkan.

Bukan bermaksud memojokkan satu pihak atau mencurigai pihak terkait. Hanya saja, catatan kelam penerbangan Indonesia yang mendapat sorotan dunia patut menjadi bahan evaluasi. Segala aspek tentunya wajib dievaluasi. Baik dari pihak maskapai maupun peraturan pemerintah.

Meski usia pesawat tidak berarti tidak aman, namun dengan usia setua itu sejauh mana maskapai melakukan perawatan pada pesawat? Sejauh mana pula pemerintah melakukan kontrol terhadap pesawat-pesawat yang diterbangkan selama ini? Adakah pengawasan dan evaluasi secara berkala terhadap kelaikan pesawat terbang?

Manusia saja bila tidak menjaga diri dan kesehatannya pasti mudah terserang penyakit. Apalagi benda mati seperti pesawat terbang. Jika tidak melakukan maintenance terhadap mesin atau bagian tubuh pesawat, masalah teknis seperti ini tidak akan diketahui. Itu artinya pengecekan dan perawatan terhadap pesawat menjadi hal penting yang harus dilakukan pihak maskapai. Usia pesawat boleh tua, tapi perawatannya haruslah meremaja.

Untuk melakukan maintenance terhadap pesawat pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terlebih bagi pesawat tua, biaya perawatannya bisa jadi lebih mahal dibanding pesawat baru. Dalam hal ini, biaya perawatan mesin atau bagian pesawat berpengaruh pula pada harga tiket. Jika tiket mahal, bisa saja para penumpang beralih pada maskapai lain.

Inilah persaingan bisnis industri penerbangan. Mereka berlomba memikat pelanggan dengan tawaran tiket murah dan cepat. Lantas, bagaimana jaminan keamanan dan keselamatan bagi penumpang? Apakah keselamatan penumpang menjadi poin terpenting dalam bisnis ini?

Apalagi di masa pandemi, para pebisnis penerbangan mungkin berpikir yang penting laku dan tidak sepi. Mereka juga pasti berusaha bertahan dengan mengurangi biaya pengeluaran bagi maskapai. Seperti perawatan, gaji pegawai, atau lainnya.

Pada akhirnya, untung rugi tetap menjadi poin utama. Jika ingin aman, nyaman, dan selamat, harga pasti lebih mahal. Namun jika mengejar murahnya tiket pesawat, ya harus cukup merasa puas dengan layanan dan fasilitas yang diberikan.

Mendamba Pesawat Murah dan Aman

Di zaman serba kapitalis, mendambakan transportasi publik yang aman dan murah seperti barang langka. Sebab, harga menentukan kualitas dan layanan. Sebagaimana diketahui, layanan transportasi publik banyak dikelola swasta. Padahal, industri penerbangan sangat membutuhkan sentuhan peran negara.

Dalam Islam, ada tiga prinsip mengelola layanan publik. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara. Negara wajib menyediakan infrastruktur yang nyaman bagi rakyat.

Kedua, perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Dalam hal ini tata ruang dan letak kota sangat diperhatikan. Bagaimana membangun tatanan kota yang tidak membutuhkan perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau bekerja. Negara juga akan membangun infrastruktur dengan kualitas sama di setiap wilayah. Dengan begitu, semua lapisan masyarakat bisa menikmati layanan publik tanpa terkendala jarak, waktu, dan biaya mahal.

Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan teknologi paling mutakhir. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat trasportasinya itu sendiri.

Kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa Sriwijaya Air. Negara harusnya tidak menjadikan industri penerbangan sebagai ceruk bisnis yang sibuk mengejar profit.Negara harusnya mengelola transportasi publik untuk melayani kebutuhan rakyat. Bukan sebagai pasar bisnis kapitalis.

Karena sarana transportasi adalah layanan publik, maka negara berkewajiban memberikan jaminan keamanan, keselamatan, dan biaya murah bahkan gratis untuk rakyat. Hubungan rakyat dan negara itu ibarat ayah dan anak. Bagaimana ayah (negara) memenuhi segala kebutuhan anaknya (rakyat). Bukan hubungan penjual dan pembeli. Anda bayar, kami layani. (***)