07/01/2023

Jadikan yang Terdepan

UU Ciptaker Zalimi Buruh

Oleh: Indriani, S.E., Ak.

Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang (UU) dalam sidang paripurna, Senin (5/10/2020). UU ini disahkan meski banyak penolakan, khususnya dari para buruh yang berencana menggelar aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 ini.

Pengesahan RUU Ciptaker dilakukan setelah fraksi-fraksi memberikan pandangan. Dari 9 fraksi yang ada, 2 fraksi menolak untuk disahkan yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.

Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengklaim, RUU yang sudah disahkan menjadi UU ini akan menjadi solusi persoalan fundamental yang menghambat transformasi ekonomi nasional, seperti obesitas regulasi, rendahnya daya saing, dan peningkatan angkatan kerja yang membutuhkan lapangan kerja baru.

Sungguh sangat disayangkan upaya legislasi Omnibus Law Cipta Kerja ini. Semestinya, pemerintah fokus pada penyelesaian masalah kesehatan akibat Covid-19 dan masalah-masalah yang terkait dengannya, seperti gelombang PHK yang masih mengintai karena resesi ekonomi.

UU Ciptaker dan Hasrat Asing

Kenekatan pemerintah untuk tetap mengesahkan RUU tersebut di tengah gelombang kecaman masyarakat, tak bisa lepas dari keuntungan yang bakal diperoleh korporasi. Chief Economist ASEAN di HSBC Joseph Incalcaterra menyebut, investor dari Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat, dan Eropa sangat memantau perkembangan politik di Indonesia mengenai RUU ini.

Menurutnya, memang terjadi perubahan tren investasi asing atau foreign direct investment (FDI) dari Cina beralih ke ASEAN. Setelah krisis ekonomi global tahun 2008, sebanyak 11 persen investasi asing global menyasar Singapura, menyusul Indonesia dan Vietnam[1].

Kebutuhan menciptakan iklim yang menguntungkan asing itulah yang mendasari pemerintah segera menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja dengan DPR. Kabarnya, 143 perusahaan AS, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Jepang, dan Cina tengah berencana merelokasi investasi ke Indonesia[2].

Dengan disahkannya RUU ini, UU Omnibus Law Cipta Kerja akan meringkas 1.244 pasal dari 79 undang-undang untuk menarik investasi asing. UU ini bertujuan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Keberadaannya diharapkan menjadi jalan pintas bagi penerapan kebijakan yang dibuat pemerintah. Maklum, bisa jadi “deal-deal” politik yang ditawarkan para pemegang kebijakan pada para cukong ketika mereka akan memperebutkan kursi kekuasaan, menuntut imbalan. Yakni kemudahan untuk memperpanjang napas bisnisnya.

Tentu yang paling merasakan langsung dampak penerapan UU ini adalah para buruh. Banyak klausul yang merugikan mereka seperti pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, semakin mudahnya perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), serta aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun. Selain itu, UU ini justru mempermudah tenaga kerja asing termasuk buruh kasar untuk masuk dan bekerja.

Ditambah sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan malah dihapuskan. Bahkan, klaim jika UU ini diterapkan akan menyerap tiga juta tenaga kerja sebagaimana disampaikan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan[3], sungguh sulit dibuktikan. Faktanya, angka pengangguran di Indonesia justru mencapai 7,05 juta orang sebelum wabah Corona terjadi. Pertumbuhan angkatan kerja baru mencapai 2 juta orang per tahunnya. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, Indonesia berhasil menyerap investasi senilai Rp809,6 triliun sepanjang 2019, namun hanya mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi 1.033.835 orang saja.

Analisis Eric Stark Maskin, peraih Nobel Ekonomi 2007 menyebutkan, beberapa ekonom dunia meyakini kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara pada era globalisasi. Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri bila globalisasi menjadi salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Fenomena itu terjadi terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia, yaitu upaya menaikkan pendapatan rata-rata tetapi justru menimbulkan masalah distribusi pendapatan. Namun keserakahan kapitalisme justru mengabaikan aspek keadilan pada pekerja demi memberikan keuntungan terbesar bagi para kapitalis.

Mengurai Kesejahteraan Buruh

Di sisi lain, memang tak mudah memenuhi tiga tuntutan buruh, yaitu penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan. Jika semua ditanggung pengusaha, pasti muncul masalah baru. Pengusaha akan memasukkan komponen kenaikan upah ke dalam biaya produksi sehingga mengakibatkan harga jual barang naik. Efek dominonya, bakal terjadi inflasi, daya beli masyarakat makin rendah, dan pada gilirannya buruh kesulitan memenuhi kebutuhan.

Mencermati secara lebih dalam berbagai persoalan ketenagakerjaan yang ada, maka masalah tersebut berpangkal dari persoalan pokok upaya pemenuhan kebutuhan hidup serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat harusnya juga menjadi fokus perhatian. Selain itu, penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu dilakukan dengan tetap mencari solusi paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tidak ada yang terzalimi, baik pekerja maupun pengusaha.

Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada pengusaha dan pekerja. Sedangkan masalah kontrak kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan keduanya.

Menurut kapitalisme, negara yang “baik” yaitu membatasi perannya hanya sebagai regulator, di saat yang sama menyerahkan pengurusan hajat publik termasuk buruh kepada swasta. Kemudian negara memindahkan beban jaminan sejahtera buruh kepada pengusaha, bukan menjadi tanggung jawab negara. Tidak hanya itu, kesalahan menetapkan standar kesejahteraan berupa upah minimum karyawan serta angka kebutuhan hidup layak yang justru berdampak fatal. Ini menunjukkan kezaliman negara kepada pengusaha dan buruh serta kezaliman pengusaha kepada buruh. Sehingga, Omnibus Law dan sistem kapitalisme ini sendiri tidak akan menyelesaikan masalah terkait ketenagakerjaan yang ada. Alih-alih menjadi angin segar bagi terwujudnya lapangan kerja serta solusi bagi PHK yang ada.

Khilafah, Solusi Tuntas Masalah Ketenagakerjaan

Dengan mengkaji hukum-hukum Islam secara mendalam, kita dapati Islam sebagai ideologi (mabda) telah mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan komprehensif.

Persoalan ketenagakerjaan tidak mungkin dilepaskan dari kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi. Masalah ketenagakerjaan yang muncul akibat semata hubungan pengusaha dan pekerja, terdapat hukum-hukum yang menyangkut ijaratul ajir (sistem upah).

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam diterapkan Khilafah melalui berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan yang dimiliki.Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah SWT telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara.

Kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang, dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, negara menjamin dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut.

Khilafah akan menciptakan lapangan kerja, memberi akses kepemilikan lahan bagi individu yang mampu mengolahnya melalui ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), menciptakan iklim kondusif bagi wirausaha, dan sebagainya, sebagai sarana bagi setiap kepala keluarga untuk bekerja.

Cara memperoleh pendapatan tidak hanya melalui penetapan hukum wajib mencari nafkah bagi laki-laki balig saja. Syariat Islam juga memiliki hukum-hukum lain yang sah dalam kepemilikan harta seperti hukum waris. Alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat yang tidak mampu memenuhinya, juga dipenuhi dengan tanggung jawab kerabat dan tetangga. Hukum syariat tersebut mampu mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan untuk berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).

Pada saat masyarakat berpendapatan menengah bawah, termasuk buruh yang kesulitan mengakses pendidikan, kesehatan, kebutuhan energi, dan transportasi, Khilafah menjamin terselenggaranya penanganan masalah-masalah tersebut. Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat, menjadikan rakyat mengaksesnya dengan murah bahkan gratis. Sehingga rakyat –apa pun pekerjaannya- akan dijamin pemenuhan pendidikan anak-anaknya, kesehatan keluarga, transportasi aman-nyaman, serta energi untuk keperluan rumah tangganya.

Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam tersebut, beberapa permasalahan pokok ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan buruh terselesaikan. Permasalahan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan bukanlah masalah yang harus dikhawatirkan pekerja.

Beranjak pada masalah lain dalam ketenagakerjaan, sepenuhnya tergantung kontrak kerja (akad ijarah) antara pengusaha dan pekerja. Sebagaimana hukum akad, kontrak kerja sama harus memenuhi ridha wal ikhtiar. Artinya, kontrak yang terjadi yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi pihak lainnya.Pengusaha diuntungkan melalui jasa pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya pekerja diuntungkan karena ia memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha.

Kezaliman dalam kontrak kerja dapat dilakukan pengusaha terhadap pekerja dan sebaliknya dapat dilakukan pekerja terhadap pengusaha. Kezaliman pengusaha terhadap pekerja adalah tindakan mereka yang tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak kerja yang disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena, termasuk tidak memberikan hak-hak pekerja seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika dia sakit, dan lain sebagainya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw. bersabda,

Allah SWT berfirman, “Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada Khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedang orang itu tidak memberikan upahnya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Sedangkan kezaliman pekerja terhadap pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajibannya yang menjadi hak pengusaha, seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, melakukan pengrusakan terhadap aset milik pengusaha, dan lain sebagainya.

Dalam rangka mencegah kezaliman yang terjadi dalam kontak kerja tersebut, Islam memberlakukan hukum-hukum tegas kepada siapa saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja. Jika masih ada perselisihan, Khilafah menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli (khubara’) yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan di antara keduanya secara netral.

Dengan demikian, jika syariat Islam ditegakkan dalam Khilafah, tak perlu lagi ada persoalan UMK, outsourcing, tunjangan kesejahteraan, ataupun PHK sewenang-wenang terhadap buruh. Buruh dan pengusaha sama-sama diuntungkan, tanpa regulasi zalim yang hanya menguntungkan kapitalis, terlebih investor asing. [MNews/Gz]