13/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Trading vs. Investing (Soros vs. Buffett)

“Ikuti Seminar Kami: Cara Jitu Trading Saham Agar Selalu Untung!”. Iklan-iklan seminar seperti ini banyak bermunculan di berbagai media massa setiap hari. Banyak orang yang ikut menjadi peserta seminar seperti itu untuk belajar trading saham. Dalam seminar-seminar seperti itu, juga sering ada sesi “success-story” dimana ada bintang tamu yang menceritakan keberhasilannya dalam trading saham dan sekarang sudah “sukses”, sudah keluar dari pekerjaannya, dan menjadikan trading saham sebagai sumber nafkah tetapnya sekarang. Bagi para peserta lain, mimpi trading for living pun semakin berbunga.

Apakah trading for living bisa dilakukan? Jawabannya: memang bukan mustahil, namun sangat sulit direalisasi bagi masyarakat awam. Mari kita bangun dari mimpi sejenak dan melihat faktor-faktor apa saja yang terkait.

Faktor pertama: modal. Untuk membuka rekening trading saham di broker, rata-rata sekarang minimal adalah Rp10 juta, sebuah nilai yang mungkin belum terjangkau bagi banyak kalangan.

Faktor kedua: biaya hidup. Taruh kata, biaya hidup seseorang yang masih single mungkin sekitar Rp5 juta per bulan. Berarti, agar mampu trading for living, seorang trader harus mampu memberikan profit Rp5 juta per bulan. Agar ini dapat tercapai, berapa modal yang harus dikeluarkan? Apabila modal yang dikeluarkan hanya Rp10 juta saja, berarti ia harus mampu menghasilkan profit 50% per bulan. Apakah mungkin? Mungkin saja. Apakah berat? Apabila dengan modal Rp. 10 juta saja, sudah pasti berat. Agar memperoleh profit sebesar Rp5 juta tiap sebulan, maka mungkin perlu disiapkan modal dana di atas Rp50 juta atau Rp100 juta.

Indeks Harga Saham Gabungan tumbuh 22,29% selama tahun 2014. Memang benar, ada satu atau dua saham yang tumbuh lebih dari 50% selama tahun 2014. Jadi agar biaya hidup sebesar Rp5 juta bisa terpenuhi setiap bulan, berarti tugas kita adalah mencari saham-saham tersebut untuk diperdagangkan. Sebuah tugas yang berat bagi pemain pasar modal pada umumnya.

Faktor ketiga: tidak adanya ahli ramal yang jitu setiap saat secara konsisten dalam pasar modal. Seorang trader tentu saja pernah mengalami untung besar. Namun sudah pasti ia pernah mengalami kerugian yang mendalam juga.

Lantas, bagaimana dengan George Soros?

George Soros vs. Warren Buffett

George Soros dikenal sebagai trader yang sudah melegenda, sementara Warren Buffett diakui sebagai maha guru investor yang sudah terkenal di dunia.

George Soros adalah salah satu trader paling ulung di dunia. Ia melakukan trading untuk semua jenis instrumen keuangan, termasuk mata uang yang membuatnya ia terkenal. Di tahun 1992, ia melakukan short-selling terhadap mata uang Inggris Poundsterling (GBP) dengan prediksi bahwa mata uang Inggris tersebut akan melemah tidak lama lagi terhadap mata uang Jerman Deutschmark (DM). Saat itu, nilai tukar 1 GBP = 2,95 DM.

Short-selling adalah posisi dimana seorang trader meminjam aset tertentu untuk dijualnya. Ketika “meminjam”, tentu harus “mengembalikan” suatu saat nanti. Ketika harga aset tersebut turun, berarti sang trader dapat membelinya kembali di harga lebih murah untuk kemudian mengembalikannya. Selisih harga yang timbul menjadi profit-nya.

Prediksinya terbukti benar. Tidak lama kemudian, Poundsterling ternyata melemah terhadap Deutschmark menjadi dibawah 2,70 DM dan posisi tersebut membawanya keuntungan bersih sekitar GBP 1.000.000.000 (satu milyar Poundsterling), sebuah angka yang fantastis pada era itu. Setelah peristiwa ini, Bank Sentral Inggris (Bank of England) memutuskan keluar dari sistem mekanisme pertukaran mata uang Eropa dan memilih untuk membiarkan nilai tukar mata uangnya mengambang.

Warren Buffett adalah “guru” investor saham yang paling terkemuka di dunia saat ini. Selain dikenal sebagai salah satu orang terkaya di dunia, ia juga dikenal sebagai sosok investor saham jangka panjang dan selalu melakukan analisa fundamental yang mendalam sebelum memutuskan investasi pada saham tertentu.

Salah satu saham favoritnya adalah saham Coca-Cola. Warren Buffett mengatakan, awal perhatiannya pada Coca-Cola adalah begitu banyaknya orang yang minum Coca-Cola di mana-mana. Ia pun mulai mendalami perusahaan tersebut dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa saham Coca-Cola memang layak untuk diinvestasikan.

Warren Buffett mulai pertama kali membeli saham Coca-Cola di tahun 1988. Saat itu, Coca-Cola telah menguasai 44% pasar minuman global dan harga sahamnya di kisaran USD 5.

Sebagai investor yang sangat serius terhadap Coca-Cola, Warren Buffett terus mengoleksi saham perusahaan minuman tersebut secara berkala dan bertahap.

Akumulasi saham Coca-Cola yang dimiliki Warren Buffett terus bertambah. Menjelang akhir tahun 2014, jumlah sahamnya mewakili 9% kepemilikan Coca-Cola. Ia mengaku hingga saat ini belum pernah menjual saham Coca-Cola miliknya tersebut. Harga sahamnya juga sudah menjulang di kisaran USD 42 per lembar (vs. USD 5 sejak pertama kali beli).

Apakah George Soros dan Warren Buffett pernah salah perhitungan? Jawabnya, pernah.

Di tahun 1987 (sebelum ia mengguncang mata uang GBP tahun 1992), George Soros menjual investasi emasnya dan kemudian beralih membeli saham-saham di bursa saham Tokyo Stock Exchange. Saat itu ia berkeyakinan kuat bahwa saham-saham Asia, termasuk Jepang akan melesat pada tahun tersebut. Namun ternyata bulan Oktober 1987 terjadi kejatuhan saham di seluruh dunia yang dikenal dengan sebutan peristiwa Black Monday, tak terkecuali bursa saham Jepang.

George Soros memutuskan menjual sebagian besar saham-saham Jepang tersebut dan membukukan kerugian sebesar GBP 530 juta. Hampir semua trader, termasuk George Soros sendiri, mengakui bahwa peristiwa Black Monday tidak terdeteksi di dalam analisanya.

Di tahun 2008, Warren Buffett memborong besar investasinya di saham perusahaan migas ConocoPhillips hingga total investasinya di saham tersebut mencapai USD 7 milyar. Dalam beberapa tahun kemudian, ia terpaksa menjual hampir semua saham perusahaan tersebut dengan kerugian USD 2,6 milyar. Warren Buffett mengakui bahwa ia kurang mengantisipasi kondisi makro dimana harga minyak dunia yang terus menurun dari USD 100/barrel hingga USD 80/barrel, bahkan lebih rendah lagi sehingga mempengaruhi kinerja perusahaan migas tersebut.

Trading vs. Investing

George Soros adalah tipikal seorang trader, dimana tujuannya adalah merealisasi keuntungan dalam waktu singkat. Metode analisa yang digunakan adalah analisa teknikal yang merupakan analisa statistik dari pergerakan harga di masa lampau. Dari analisa statistik tersebut, seorang trader berusaha menebak pola (trend) ke depan dan memprediksi harga kapan ia melakukan profit-taking dan keluar dalam waktu singkat (timing). Jangka waktu trading bisa hanya semalam sampai beberapa bulan (sangat jarang sampai setahun). Seorang trader biasanya kurang memperhatikan laporan kinerja keuangan dari perusahaan yang bersangkutan.

Di sisi lain, Warren Buffett adalah contoh seorang investor, dimana ia berinvestasi dengan tujuan memperoleh nilai tambah melalui akumulasi kenaikan nilai aset yang diinvestasikan dalam jangka waktu yang lama, bahkan puluhan tahun. Ia melihat membangun portofolio investasi ibaratnya membangun bisnis yang tumbuh perlahan-lahan dan mengalami siklus naik turun. Semua bisnis yang berhasil juga mengalami demikian. Namun dalam jangka panjang, akumulasi dari nilai investasi (atau bisnis) berpotensi akan tumbuh berkelanjutan. Metode analisa yang digunakan adalah analisa fundamental, yakni analisa terhadap laporan kinerja keuangan untuk melihat prospek bisnis ke depannya.

Secara singkat, perbedaan trader vs. investor seperti dibawah:

Seorang pengelola investasi professional, selain menggunakan analisa fundamental secara utama, biasanya juga melakukan analisa teknikal sebagai bahan referensi perbandingan.

Jadi, Mana Yang Lebih Baik?

Trading vs. investing: tidak ada satu lebih baik dari yang lain karena keduanya memberikan dinamika bagi pasar modal. Namun bagi masyarakat investor umum, disarankan sebaiknya mengambil langkah “investing”. Mengapa?

Pertama, seorang investor memiliki kesempatan (chance) lebih baik untuk membangun kekayaannya perlahan-lahan dalam jangka panjang, dibandingkan dengan mengejar keuntungan besar dalam waktu singkat. Ibarat membangun bisnis, tidak ada bisnis yang langsung untung besar dalam semalam.

Kedua, jangka waktu panjang memberikan kesempatan investor untuk mengoleksi aset tersebut perlahan-lahan dengan harga yang terjangkau.

Ketiga, rentang jangka waktu yang panjang memberikan keuntungan:

– Memberikan kesempatan bagi nilai investasi untuk bergulung atau berakumulasi bunga-berbunga (compounding).

– Memberikan kesempatan bagi nilai investasi untuk recovery ketika sedang turun.

Keempat, tanpa disadari, trading justru malah berpotensi lebih mahal. Aktivitas jual-beli secara aktif dan cepat dalam waktu singkat akan menimbulkan biaya trading (trading fee) yang tinggi yang mungkin justru memakan profit yang sudah diperoleh.

Kelima, keputusan keluar ketika pasar sedang turun justru malah akan merealisasi kerugian. Juga seringkali seorang trader “ketinggalan kereta” ketika pasar rebound kembali sehingga hilang kesempatan recovery. Berarti, aktivitas masuk-keluar secara cepat dalam pasar modal malah mempertinggi risiko kerugian.

Keenam, penjelasan di atas menunjukkan secara umum trading lebih menciptakan stress dibandingkan investing.

Di sisi lain, di dalam mengelola portofolionya, seorang investor juga mungkin tidak mudah melakukan sendiri semua aktivitas analisanya. Keterbatasan waktu, tenaga, akses, kemampuan, dan masih banyak lagi akan menjadi kendala bagi seorang investor umum yang bukan pakar di bidang pasar modal.

Oleh karena itu, investor sebaiknya menyerahkan aktivitas analisa fundamental (maupun teknikalnya) kepada para profesional yang memang memiliki tugas untuk melakukannya dan kemudian mengemasnya dalam bentuk produk Reksa Dana yang lebih terjangkau, terkelola, dan transparan. (***)