13/01/2023

Jadikan yang Terdepan

KPK Cegah Potensi Korupsi pada Tata Niaga Impor Pangan Strategis

Jakarta, KabarGress.Com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan Kajian Tata Niaga Daging/Sapi pada 2012. Salah satu temuannya adalah lemahnya mekanisme penentuan kuota dalam impor daging sapi. Namun, KPK juga menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat terkait dengan tata niaga impor pada komoditas pangan strategis yang menunjukkan beragam modus penyelewengan antara lain: penggelapan impor, impor fiktif, penyalahgunaan prosedur, dan mark-up.

KPK menilai, kelemahan pada kebijakan tata niaga impor berpotensi diintervensi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan pribadi. Seringkali kebijakan impor tidak tepat dan tidak berpihak pada kepentingan bangsa, yaitu memberikan perlindungan maksimal kepada petani dan peternak lokal.

Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang kerap melakukan impor besar-besaran jika terjadi kelangkaan komoditas. Padahal, kelangkaan sengaja diciptakan oleh para pemburu rente guna mendapatkan keuntungan. Contohnya, dalam importasi beras, kelemahan sistem importasi dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mendatangkan beras yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

Karena itu, dengan mempertimbangkan berbagai pengaduan dan permasalahan importasi itu, KPK menilai penting untuk melakukan kajian lebih lanjut, terhadap kebijakan tata niaga impor pada lima komoditas pangan strategis dalam perspektif pencegahan korupsi, yaitu daging/sapi, beras, jagung, gula, dan kedelai.

Hasil kajian yang dilakukan pada 2014, menemukan 11 kelemahan yang memerlukan perbaikan segera. Tiga temuan pada aspek regulasi dan 8 temuan pada aspek tata laksana dan pengawasan. Menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, berbagai permasalahan yang diperoleh dalam kajian menunjukkan bahwa upaya pemerintah sebagai pembuat regulasi terhadap pelarangan dan pembatasan pada komoditas pangan strategis belum tuntas, baik di sisi hulu maupun hilir.

Adnan melanjutkan, sistem informasi pangan yang seharusnya menjadi salah satu acuan waktu importasi juga belum ada, sementara kebijakan importasi yang berjalan belum menunjukkan keberpihakan kepada produk dan petani/peternak lokal. “Segala bentuk temuan semakin diperparah dengan belum berjalannya mekanisme pengawasan di pusat dan daerah,” katanya pada paparan hasil kajian di Gedung AA Maramis, Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (24/2).

Karena itu, kata dia, kajian ini akan mengidentifikasi kelemahan kebijakan tata niaga impor pada komoditas pangan strategis, khususnya yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi. Selain itu, kajian ini juga mengidentifikasi kesenjangan (gap) antara kebijakan tata niaga impor pada komoditas pangan strategis dengan pelaksanaannya di lapangan.

Dari sini, kata Adnan, KPK memberikan saran perbaikan untuk memperbaiki kebijakan tata niaga impor pada komoditas pangan strategis. “Ini semua dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana korupsi,” katanya.

Dengan ditemukan permasalahan itu, maka diperlukan upaya semua pemangku kepentingan untuk mengawal bersama kebijakan dan pelaksanaan tata niaga impor komoditas pangan strategis secara komprehensif. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk melakukan pembenahan tata niaga impor komoditas pangan strategis di antaranya; Melakukan review dan harmonisasi terhadap peraturan perundangan terkait impor komoditas pangan strategis; dan Analisis yang komprehensif/kajian pendahuluan disertai data yang valid dalam setiap pembuatan/perubahan kebijakan impor dengan mengutamakan perlindungan kepada peternak/petani lokal.

Tiga upaya lainnya; Mengintegrasikan sistem aplikasi impor komoditas pangan strategis dari hulu ke hilir; Pembuatan database informasi komoditas pangan strategis yang memuat berbagai informasi terkait pangan (produksi, konsumsi, sentra produksi, musim panen, iklim, jenis/varietas, harga, impor, ekspor, dan profil importir); serta Penguatan mekanisme pengawasan, baik di tingkat pusat maupun di daerah, yang disertai dengan pemberian sanksi atas pelanggaran impor yang dilakukan dan ditemukan di lapangan.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Sumber Daya Hayati Kemenko Perekonomian Bambang Adi Winarso mengatakan dalam sambutannya, biaya produksi pada impor komoditas pangan, seperti gula, beras dan jagung, sangat besar. Indikasi adanya penyimpangan di antara pihak-pihak yang berwenang juga terbuka. “Karena itu, kajian yang dilakukan KPK ini dirasakan menjadi penting,” katanya. (ro)